PADANG, METRO
Setelah bebas menjalani hukuman atas putusan Mahkamah Agung (MA) RI, September 2019 lalu, terkait pidana kasus korupsi proyek transmigrasi pada tahun 2006, Eddi Warlis mendatangi kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatra Barat (Sumbar), Senin (9/3). Dia meminta Kejati Sumbar membongkar kembali kasus yang menyeretnya ke penjara.
Eddi Warlis yang datang sekitar pukul 09.00 WIB, tampak masuk ke kantor Kejati Sumbar, dengan membawa sejumlah berkas. Kedatangannya di Kejati Sumbar adalah, menuntut keadilan atas perkaranya dan mempertanyakan, mengapa hingga saat ini, mantan pimpinannya inisial ZEA tidak pernah diusut dalam kasus tersebut.
”Saya datang kesini untuk meminta keadilan, saya sudah ditangkap dua kali dan bebas dua kali dalam kasus ini. Mengapa ZEA selaku Kepala Dinas tidak pernah tersentuh hukuman. Mengapa hanya ekor-ekornya saja ditangkap, sementara kepalanya tidak,” ungkap Ediwarlis kepada sejumlah wartawan.
Eddi Warlis, yang pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Bimbingan Penyuluhan Bina Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar, mengaku dirinya telah dizolimi dan sengaja dikorbankan untuk menutupi kesalahan yang lain. Dia berharap ada kesetaraan di mata hukum.
Sejak bebas dari tahanan dirinya mengaku tidak ada lagi beban, untuk meminta kepada Kejati Sumbar, untuk membongkar kembali kasus ini. Bahkan dirinya siap memberikan bukti-bukti yang diperlukan.
“Pada hari ini ada beberapa berkas yang saya bawa, mulai dari Putusan Pengadilan Negeri (PN) Kelas IIA Padang, Keputusan Pengadilan Tinggi dan Putusan MA, SK Pemberhentian saya sebagai PKK, Adendum perpanjangan waktu, yang diketahui ZEA serta beberapa pendukung lainnya yang menguatkan,” ujarnya. Eddi Warlis.
Dia menambahkan, dalam kasus ini melalui SK pencabutan PPK 2006, dirinya sudah diberhentikan sebagai PPK oleh ZEA dan dipindahkan pada Fuadi. Hal ini sesuai dengan penukaran tandatangan spesimen di Bank BRI dengan melampirkan SK pemberhentian.
“Tidak seharusnya persoalan ini sepenuhnya dipetanggungjawabkan kepada saya selaku mantan PPK, saya hanya menjalankan fungsi sebagai unsur pembantu pelaksana yang tidak memiliki kapasitas menilai tau menghalangi kebijakan ZEA sebagai Kepala Dinas saat itu,” ujarnya.
Dijelaskannya,pada ditahun 2016 saat itu, ada kegiataan penyiapan pembinaan pemukiman dan penempatan transmigrasi (P4T), yang berasal dari dana SPBD senilai 16.685.517.000,- yang kegiatannya sampai akhir Desember 2006 dengan lokasi Padang Hilalang Kabupaten Dharmasraya dan Dusun Tangah Kabupaten Solok Selatan.
Semua proyek tersebut diketahui ZEA selaku kepala dinas dan menandatanganinya. Pada 14 Desember 2006, karena waktu pekerjaan fisik sudah berakhir, maka dilakukan penghitungan bobot fisik pekerjaan oleh tim evaluasi kemajuan pekerjaan oleh pengawas dari PT. Pembangunan Sumbar, didapat progres fisik 53,77 persen untuk Lokasi Padang Hilalang dan 58,1 persen untuk Dusun Tangah.
Atas dasar itu, lanjutnya, Kepala Dinas ZEA mengajukan penundaan penempatan transmigrasi kepada mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi c/q Dirjen P4T. Kemudian membuat surat perpanjangan waktu kegiatan pembinaan penyusuanan pelaksanaan persiapan permukiman transmigrasi
Pada 18 Desember 2006, P4T dibuatkan surat prihal pengendalian program kerja dan kegiatan tahun 2006 yang isi suratnya; pemberian persetujuan atau perintah bayar kepada pihak yang berhak menerima dilakukan terlebih dahulu meneliti dengan cara cermat persyaratan dan kelengkapan administrasi dan kemajuan fisik atau bobot di lapangan serta tidak dibenarkan memberikan persetujuan membayar apabila tidak memenuhui isi kontrak.
Lalu, lanjutnya, dibayarkan perkerjaan 100 persen untuk bobot progres fisik 53,77 persen dan bobot progres fisik 58,1 persen. Bukan 100 persen untuk bobot 100 persen. Dilakukan adendum perpanjangan waktu yang disetujui ZEA selaku kepala dinas dan berdasarkan disposisi Gubernur.
Kemudian, lanjutnya, ZEA menjumpai kepala KPPN Padang dan Kanwil Ditjen Perbendaharaan Sumbar untuk membantu pencairan dana 100 persen, tanpa dilengkapi berita acara bobot 100 persen dari proyek.
Kepala KPPN memberikan blanko syarat yang harus ditandatangi Fuadi sebagai PPK/KPA yakni surat keterangan bertanggungjawab mutlak. Lalu Zul Evi Astar memaksa bendahara untuk menandatangani SPP.LS 100 persen.
“Bobot yang dibuat 58,1 persen dan 53,77 salah harus diganti lagi. Kebijakan mencairkan dana 100 persen meski sekali pun volume pekerjaan fisik belum tercapai, kerugian negara dalam inisesuai LHP BPK bukanlah kerugian secara riil, karena kenyataannya peroyek tetap dilanjutkan sampai maret 2017.
Ditempat terpisah, kasi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Sumbar Yunelda, membenarkan kedatangan Eddi Warlis. “Ya benar memang tadi datang kesini, dan selanjutnya, kita akan proses laporan yang diberikannya,”tegas Yunelda mengakhiri. (cr1)