AIAPACAH, METRO–Perilaku maksiat, kian parah di Kota Padang ini. Bisnis syahwat ada dimana-mana. Mulai dari hotel berbintang hingga pondok baremoh di pinggir-pinggir jalan lintas, pelacur dijajakan. Kondisi ini menjadi peringatan keras bagi Wako Mahyeldi beserta jajarannya. Wako harus bergerak dan paham, kalau pembangunan kota itu tak hanya fisik semata, tapi juga soal moral masyarakatnya. Buat apa Padang indah, sementara maksiat menggurita. Bisa kena bala nantinya kota ini.
Jika dibiarkan begitu saja. Bisa-bisa orang datang ke Padang hanya untuk buang syahwat. Mencari wanita penghibur semata. Kalau sudah begitu, kota ini tak akan lagi dikenal sebagai kota wisata religius, tapi sebagai tempat pelepas nafsu belaka. Betapa malunya kita, kalau label itu tersemat. Sebab itu, sebelum benar-benar mengakar, eloklah diberantas.
Wako harus turun. Kalau perlu, pergi juga razia. Datangi hotel-hotel yang jadi lokasi mesum, gertak pemiliknya dengan aturan. Jika tak mempan, cabut izinnya. Wako tak usah ragu, ribuan banyaknya masyarakat yang mendukung, jika memang mau turun langsung. Jangan terkesan hanya main perintah di balik meja dalam pemberantasan mesum. Kalau turun tangan, tambah hebatlah Wako. Dikenal tidak hanya mampu membenahi Pantai Padang, tapi juga karena berhasil memberangus maksiat di kota yang dipimpinnya. “Wako turun tangan dong,” begitu sebut Zesra Adbul Hamid (25), mahasiswa Unand.
Tidak hanya orang dewasa, anak anakpun rentan menjadi korban kejahatan amoral yang dilakukan orang dewasa. Bahkan baru baru ini pelajar SMP dan SMA di Kota Padang aktif bergabung dan masuk ke dalam jaringan pekerja seks komersil (PSK) yang dikembalakan oleh sejumlah mucikari. Bahkan sejumlah tempat tempat maksiat marak beroperasi, tempat hiburan malam tanpa izin juga ramai dengan pengunjung.
Fenomenanya kini, banyak sekali mahasiswa yang terseret dalam dunia seks bebas. Transaksinya biasanya di tempat hiburan malam. Mahasiswa dijemput ke tempat kos mereka. Kemudian mereka melakukan hubungan dihotel. Dan kembali lagi ke tempat kos. “Yang banyak itu adalah anak anak sekolah kesehatan ini. Ada yang karena faktor ekonomi dan ada pula karena kebiasaan,” sebut salah seorang sumber kepada koran ini.
Ketua MUI Kota Padang, Duski Samad menilai, kondisi ini sebagai akibat keterbukaan informasi dunia saat ini. Semua orang bebas mengakses apa saja. Kondisi ini juga diperparah dengan lemahnya daya tahan sosial masyarakat. Masyarakat tidak siap menghadapi godaan. “Sekarang semuanya terbuka. Tidak ada filter informasi. Semuanya bisa ditonton dan dilihat,” ujar Duski Samad
Hal yang harus dilakukan menurut Duski Samad adalah penegakan hukum dalam membongkar praktek praktek maksiat di Kota Padang. Sehingga para pelaku diberikan sanksi yang sesuai dan membuat dia jera.”Ini bukan pekerjaan gampang. Butuh keseriusan dari semua elemen. Baik aparat penegak hukum dan pemerintah,” ujarnya.
Aparat dan pemerintah menurut Duski harus sejalan. Sehingga penegakkan hukum bisa berjalan maksimal dan tepat sasaran. “Kita hargai pekerjaan aparat untuk membongkar kasus kasus ini “ ucap Duski.
Persoalan laten ini, kata dia, harus diwaspadai pula oleh para orang. Orang diminta untuk lebih perhatian pada anak. Kontrol orang tua lebih ditingkatkan. “Bayangkan saja, anak anak bisa terlibat pula dalam jaringan PSK. Ini harus disikapi oleh semua pihak,” ujarnya.
Di sisi lain penyadaran secara terus menerus pada masyarakat perlu dilalukan. Sehingga masyarakat bisa memproteksi diri agar menjauhi lingkungan yang tak baik.
Ketua LPA Sumbar, Eri Gusman, mengatakan, fenomena ini marak karena ada perubahan zaman. Falsafah adat basandi sara’, sara basandi Khitabullah kini hanya dalam tataran normatif saja. “Ini adalah Pekerjaan Rumah (PR) ninik mamak. Mungkin perannya dalam menjaga anak kemenakan tak jalan,” ujar Eri.
Kedua, katanya karena faktor lingkungan. Orang tua harus peduli dengan anak mereka. Orang tua juga harus menjalin komunikasi dengan sekolah.