PADANG, METRO – Selama ini, masih banyak masyarakat salah memahami kalau susu kental manis (SKM) sebagai pengganti air susu ibu (ASI) dan beranggapan bisa sebagai asupan gizi bagi tumbuh kembang anak. Padahal, kandungan protein pada SKM sangat rendah dan hanya bisa dimanfaatkan sebagai makanan tambahan atau topping.
Untuk mensosialisasikan SKM bukan susu, Majelis Kesehatan PW Aisyiyah Sumbar dan YAICI menggelar seminar dalam rangka Hari Kesehatan Nasional dengan menghadirkan narasumber Kepala Dinas Kesehatan Sumbar dr Merry Yuliesday MARS dan mewakili Kepala BBPOM Sumbar Dra Hilda Murni Apt MM.
Ketua Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Arif Hidayat mengatakan, masyarakat diharapkan lebih cerdas dan bijak dengan selalu memeriksa kemasan, membaca label dan mengecek nomor izin edar atau produksi SKM sehingga kedepan tidak lagi mengkonsumsi SKM sebagai pengganti ASI.
“Dalam benak masyarakat sendiri sudah tertanam persepsi yang kuat bahwa SKM sebagai susu bernutrisi. Hal tersebut disebabkan iklan SKM sebagai susu sudah ada sejak hampir seabad silam.
Dan tertanam kuat di benak masyarakat Indonesia sebagai susu bernutrisi,” kata Arif Hidayat, saat acara Peduli Gizi Anak Generasi Emas 2045 di Aula PW Aisyiyah Sumbar, kemarin.
Arif menjelaskan, sejumlah pihak telah meminta para produsen untuk menghentikan mengiklankan SKM sebagai susu. Ini sesuai Peraturan Kepala (Perka) Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Produk Pangan Olahan. Perka BPOM tersebut juga melarang visualisasi iklan SKM menampilkan anak-anak berusia di bawah lima tahun dalam bentuk apa pun.
“Tak hanya itu, peraturan BPOM juga melarang produsen menggunakan visualisasi SKM setara dengan produk susu lain sebagai penambah atau pelengkap zat gizi seperti susu sapi. Jangan lagi iklan SKM menampilkan gambar gelas yang bisa dikonotasikan bahwa peruntukan SKM sebagai minuman tunggal, bergizi dan baik untuk pertumbuhan anak. Iklan SKM harus didudukkan pada proporsinya sebagai makanan tambahan atau topping,” tegasnya.
Arif menjelaskan, BPOM telah mengeluarkan Perka BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Produk Pangan Olahan yang merupakan revisi dari Peraturan BPOM Nomor 27 tahun 2017 tentang Pendaftaran Pangan Olahan. Peraturan baru tersebut dinilai telah melindungi kepentingan konsumen dan produsen, termasuk SKM. Seharusnya peraturan ini dipatuhi, sehingga produsen tidak lagi mengiklankan SKM sebagai susu.
“Akan tetapi, faktanya masih ditemui iklan SKM dengan gambar gelas, yang bisa dikonotasikan bahwa peruntukan SKM sebagai minuman tunggal. Ini menunjukkan bahwa produsen masih belum iklas untuk berhenti mengiklankan SKM sebagai susu,” tegas Arif.
YAICI, menurut Arif, pernah melakukan survei di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, dan Kota Batam, Kepulauan Riau. Dan, menemukan fakta bahwa ibu-ibu memberikan SKM pada anak mereka setiap hari. Anak-anak ini meminum SKM layaknya susu bubuk sebagai penambah gizi.
Padahal, lanjut Arif, kandungan protein dalam SKM yang diproduksi di Indonesia sangat kecil. Misalnya, protein 2,3% lebih rendah dari ketentuan BPOM 6,5%, dan ketentuan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) 6,9 %.
Begitupun kandungan gula lebih tinggi yakni diatas 50%, padahal WHO mensyaratkan 20%. “Jadi kalau minum SKM, bukan minum susu, tapi minum gula rasa susu,” ujar Arif.
Senada dengan Arif, Wakil Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Noor Rachmah Praktinya menegaskan, masih banyak ditemui persepsi yang salah di masyarakat bahwa SKM adalah susu. Ini sangat berbahaya. Karena peruntukkan SKM bukan sebagai susu, tetapi hanya untuk campuran makanan. Dan dampak dari konsumsi SKM yang berlebihan terhadap kesehatan anak sangat besar
“SKM mengadung karbohidrat (KH) dan gula yang jauh lebih tinggi, serta protein yang jauh lebih rendah dari susu full cream. Padahal, kebutuhan gula anak 1-3 tahun sekitar 13-25 gram. Bila anak mengonsumsi dua gelas SKM sehari, akan melebihi kebutuhan gula harian. Adapun kelebihan asupan gula tersebut akan disimpan oleh tubuh dalam bentuk lemak, sehingga bisa menyebabkan kegemukan dan obesitas pada anak,” jelas Noor Rachmah.
Noor Rachmah menambahkan, dampak buruknya apabila mengonsumsi gula, natrium dan lemak lebih dari batas-batas yang disebutkan, bisa berisiko terkena penyakit tidak menular seperti hipertensi, stroke, diabetes dan serangan jantung. Penyakit tidak menular disebabkan karena salah pola konsumsi dan gaya hidup tidak sehat.
“Karena itu, kami menunjukkan komitmen untuk terus melakukan edukasi kepada jamaah Aisyiyah untuk menerapkan pola makan dan pola asuh yang baik. Kepada para produsen SKM, Dia meminta untuk bisa legowo berhenti mengiklankan SKM sebagai susu. Masih banyak target market konsumen SKM lainnya seperti pengusaha katering, penjual kue dan martabak, dan lainnya,” pungkasnya. (rgr)