Namun kenyataannya lanjut Hendri Dunand, masyarakat petani cukup lama terpuruk karena mengalami gagal panen. Kalau hanya menggelar operasi pasar, kebijakan tersebut hanya mengatasi dan membantu masyarakat untuk mendapatkan beras dengan harga murah.
”Bagaimana dengan nasib para petani yang secara ekonomi terpuruk lantaran beberapa kali musim panen mengalami kegagalan lantaran serangan hama tikus,” ujar Hendri Dunand mempertanyakan keberpihakan kebijakan pemerintah daerah terhadap masyarakat petani.
Kalau hitung-hitung nasib lanjutnya, memang tidak ada yang perlu dipersalahkan dengan kondisi tersebut dan ýcukup hanya dengan mencari “kambing hitam” yakni tikus sebagai penyebabnya. Namun demikian yang dipertanyakan adalah langkah kebijakan pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut agar masyarakat petani tidak terus menderita kerugian akibat gagal panen.
Sebagai dampak dari gagal panen yang terjadi di daerah Kabupaten Solok yang tidak kunjung dapat teratasi, telah membuat harga beras di daerah yang digadang-gadangkan sebagai daerah lumbung beras ini melonjak dan membuat masyarakat menjerit.
Seharusnya dengan melonjaknya harga beras, membawa keuntungan bagi masyarakat petani di daerah ini. Namun kenyataannya, masyarakat petani tetap terpuruk secara ekonomi. Sementara beras yang beredar di pasaran justru beras dari luar daerah, bahkan dari luar negeri seperti yang dipasarkan melalui operasi pasar di sejumlah pasar tradisional.
Untuk harga beras di pasaran saat ini, dijual dengan harga Rp13 ribu hingga Rp14 ribu per liter. Harga ini tidak terjangkau oleh masyarakat, sehingga masyarakat terpaksa mencari beras dengan harga murah meski kualitas rendah.
Melalui operasi pasar yang digelar Pemkab Solok bekerja sama dengan bulog setempat, mendistribusikan beras bulog dengan harga Rp8.400 per kg atau Rp6.700 per liternya di sejumlah pasar tradisional. Diharapkan dengan operasi pasar ini, akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan beras dengan harga terjangkau. (vko)















