Yang paling kita jauhkan bila sedang membaca berita politik adalah keterkejutan. Saya jarang benar terkejut-kejut membaca berita menyangkut politik. Naluri saya tampaknya sudah agak terlatih mendengar kabar berita perpolitikan kita. Apapun peristiwa politik, biasanya saya menyimpulkan dengan senyum. Bukan dengan dahi berkerut.
Sungguh, kening saya agak berkerenyut, perasaan saya agak terkejut ketika terbaca berita dari media online Jawa Pos.com. Berita itu dipublish pada 15 Juli 2019 pukul 10.45.46. Judulnya : “ Politikus Gerindra Dorong Sekjen DPD RI Maju Pilgub Sumbar 2020”. Judul berita ini tak mampu menyembunyikan keterkejutan saya.
Berkali-kali saya ngomong dan bertanya-tanya sendiri, ha politikus Gerindra Dorong Sekjen DPD RI Maju Pilgub Sumbar 2020 ?
Ah, yang bener? Keluar ‘bahasa Betawi’ saya dibuatnya. Ah, masak? Gile !
Setahu saya, Nasrul Abit yang kini Wagub Sumbar adalah Ketua DPD Gerindra Sumbar. Pada Pileg baru lalu, di DPRD Sumbar, Gerindra sukses meraih 14 kursi. Tanpa berkoalisi, Gerindra sah bias mengusung calon gubernur kita.
Sepengamatan saya, selain Nasrul Abit, ada beberapa nama yang disebut-sebut berpeluang besar menjadi calon kuat gubernur di ranah tacinto ini. Misal, Mulyadi (anggota DPR RI dan Ketua Demokrat Sumbar), Fakhrizal (kini Kapolda Sumbar), Mahyeldi (Walikota Padang), Reza Pahlevi (Wako Payakumbuah), Indra Catri (Bupati Agam), Ali Mukhni (Bupati Padangpariaman/ Ketua DPW PAN Sumbar) dan Febby Datuk Bangso ( Staf Khusus Menteri Desa PDTT dan transmigrasi/ Ketua DPW PKB Sumbar).
Dari sejumlah nama calon gubernur tersebut, peluang Nasrul Abit sebagai petahana sangatlah besar. Kalau Nasrul bertemu dengan pasangan wakil yang tepat, tinggal kita mengucapkan “selamat dan sukses untuk Pak Nasrul”. Sungguh lapang jalan seorang Nasrul Abit menjadi Gubernur Sumbar masa depan.
Tapi, tiba-tiba berita itu membuat saya kembali tercekat. Terdaguk urat politik saya dibuatnya. Ah, seharusnya saya tak mestii berlebihan membaca berita ini. Seharusnya, saya menerimanya dengan irama rasa yang “selow”—mirip lagu pop generasi zaman now.
Baiklah, saya kutipkan alinea pertama dari berita tersebut: “Politikus Gerindra yang juga dikenal sebagai salah satu Tokoh Minang Sukri Bey berharap, gubernur Sumatera Barat ke depan adalah orang yang punya akses dan jaringan ke pemerintah pusat. Ini demi majunya daerah, karena APBD masih kurang.”
Alinea selanjutnya begini bunyinya: “Karena itu Sukri Bey yang juga dikenal sebagai mantan Kepala BPKD DKI Jakarta itu mengatakan, mesti ada sosok yang punya akses ke pemerintah, yang mengerti bagaimana menggaet dana pusat ataupun sumber dana lainnya sehingga Sumbar membangun tidak lagi mengandalkan APBD belaka “.
Ya, bunyi alinea di atas masih bersifat normatif. Kemudian, apa yang membuat saya “gegek” politik? Ya, kutipan kalimat di bawah ini: “Jadi gubernur Sumbar ke depan harus pandai melobi pusat. Dan kemampuan itu ada pada pak Donny Moenek,” ujar Sukri Bey.
Ha? Setahu saya.Saya dengar-dengar, seorang Nasrul Abit cerdas dalam ilmu melobi. Pintar pula meyakinkan Pemerintah pusat. Konon, Pak Nas punya jaringan bagus di Jakarta. Awam politik tentu berharap, kalau Politikus Gerindra yang bicara, tentu yang ia dorong adalah kader Gerindra sendiri.Apalagi kalau kadernya itu juga seorang petahana yang popularitasnya tentu beradat patut dan pantas.
Kadang-kadang saya berpikir, barangkali saja Sukri Bey ingin memasangkan Nasrul Abit dengan Donny Moenek. Tapi siapa yang nomor satu? Donny? Atau Nasrul Abit? Apa mungkin dua tokoh itu mau beralah menjadi “cawagub”? Karena, saya menilai, baik Pak Nas maupun Pak Donny, kelasnya kelas nomor 1; bukan nomor 2.
Ah, bingung saya menganalisisnya.
Politik tak boleh membuat kita bingung. Kebingungan politik harus kita cermati dengan mencari tahu. Mencari jawaban politik harus bertanya ke politisi. Tempat bertanya, jangan pula ke sembarang politisi. Cari politisi yang kita yakini member jawaban yang jernih. Minimal begitu saya berpendapat.
Pendapat saya, tempat bertanya yang tepat adalah ke politisi muda yang saya kenal sangat cerdas. Ia tak saja berkutat dan paham situasi lokal, tapi juga memahami perkembangan politik nasional. Jaringannya di Pusat, kuat.
Ialah Febby Datuk Bangso. Saya kontak Febby. Ha, menyambung rupanya. Seperti biasa, percakapan dengan salam basa-basi. Febby, sosok yang serius. Tapi bukan berarti terbelenggu gaya “formalitas”. Percakapan kami bernuansa bersahabat. Tak kaku-kaku. Semua dalam bahasa lepas dalam benih pikiran yang bernas, tentunya. Febby bukan tipe politisi asal bicara. Ia politisi bertipikal “peduli”. Peduli sesama politisi adalah gaya solidaritas Febby.
Beberapa waktu yang silam, ketika seorang Tauhid mantan Ketua Perindo Sumbar memaklumatkan mengundurkan diri dari partai tersebut, berselang beberapa saat, muncul berita di media online yang isinya Febby Datuk Bangso ketua DPW PKB Sumbar membentangkan karpet hijau menyambut Tauhid untuk bergabung di PKB Sumbar. Begitu mulianya.
Kembali ke soal pangkal. Kira-kira bagaimana pendapat Febby Datuk Bangso menyangkut berita ini. Berita yang mengabari bahwa “Politikus Gerindra Dorong Sekjen DPD RI Maju Pilgub Sumbar 2020”
Febby tak langsung menjawab ketika peristiwa politik ini ditanyakan kepadanya. Ia meminta waktu untuk memahami isi berita. Hubungan telepon diputus sesaat. “ Saya baca dulu berita itu. Nanti saya hubungi kembali Da Pinto”, kata Febby.
Berselang waktu, HP saya berdering. Tentu saja dari Febby Datuk Bangso.
“ Kita ingat pada peristiwa politik yang dialami Tengku Ery Gubernur Sumatera Utara. Tengku juga ketua DPW Nasdem. Hasilnya apa? Apakah Tengku otomatis dicalonkan oleh partainya sendiri? Ternyata tidak. Ketika waktu makin sempit, partainya tak mencalonkan ia, tapi tokoh lain. Tengku gagal bertarung. Ia kalah sebelum masuk gelanggang….”, ujar Febby.
“ Itu sebuah pelajaran yang sangat berharga. Masih menyangkut peristiwa politik. Shadig Pasadigoe misalnya. Namanya menjadi calon kuat Gubernur Sumbar pada empat tahun yang silam. Beberapa partai seakan-akan berminat besar meminang Shadig. Tapi yang secara terang-terangan memberikan dukungan suara bersurat sah hanya PKB Sumbar. Apa yang terjadi, 18 jam lalu nama Shadig masih disebut-sebut, pada 18 jam kemudian, kereta sudah penuh”, kisah Febby.
“ Berita itu member sinyal kepada kita, khususnya kepada Pak Nasrul Abit untuk waspada politik. Maminteh sabalun hanyuik…Ya, Pak Nas jangan terlena. Jangan larut dalam kepastian sendiri”, ucap Febby Datuk Bangso yang namanya justru keras menggaung jadi calon bupati di kampung halamannya, Tanahdatar.
Kalau begini, sikap bijak apa yang harus dilaksanakan Nasrul Abit?
“Sebaiknya Pak NA juga harus sudah mulai melakukan silaturrahmi politik ke parpol-parpol yang ada. Saya yakin, Pak NA selaku niniak mamak tentu memahami mamang ingek sabalun kanai. Karena kejadian serupa pernah dialami oleh Tengku Ery Gubernur Sumatera Utara. Ia juga ketua DPW partai Nasdem. Akhirnya tidak jadi mencalon karena ketinggalan kereta. Kereta yang diharapkan dari partainya sendiri ternyata membawa orang lain”,ujar Febby.
Hmm, baru saya paham.
Paham saya. Tak ada pilihan lain, saya sependapat dengan pikiran Febby Datuk Bangso. Baru juga saya tahu, betapa “sayang” dan “perhatiannya” Febby pada seorang Nasrul Abit. Saya kira, mungkin karena mereka sama-sama politisi ninik mamak.
Sebenarnya, saya ingin bercakap-cakap dengan Pak Nasrul Abit. Tapi tidak mungkin. Jam sudah menunjukkan pukul 0.18. Sudah malam. Saya carilah waktu yang tepat dan Pak Nas juga mempunyai waktu lapang untuk bercakap-cakap tentang siapa dan mengapa calon Gubernur 2020 !
Makasih pak datuk
Bingung saya sudah berlalu.
(Pinto Janir)