KHATIB, METRO – Maraknya keberadaan gelandangan psikotik atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang terlantar di jalanan menimbulkan kesan negatif di lingkungan sekitar. Terkait hal itu, perlu merangkul keikutsertaan berbagai pihak dalam penanganan masalah sosial tersebut. Penanganan terhadap orang dengan gangguan jiwa tidak bisa dibebankan begitu saja kepada pemerintah daerah.
Kepala Dinas Sosial Sumbar, Abdul Gafar menyebutkan, masing-masing pihak termasuk pihak keluarga mesti pro aktif dalam penanganan kondisi kejiwaan yang bersangkutan, sebagaimana. Fakta yang ditemui di lapangan pada umumnya menunjukkan, minim pengetahuan dan kesadaran pihak keluarga dalam penanganan dan pemulihan kondisi kejiwaan yang berangkutan.
“Di antara mereka banyak yang terlantar di jalanan tanpa diketahui pasti identitas dirinya. Perlu merangkul pihak keluarga agar pro aktif dalam penyelesaian masalah sosial yang menuntut keikutsertaan semua pihak, tanpa terkecuali,” ujar Abdul Gafar.
Terkait gelandangan psikotik yang ada di perumahan dan pertokoan, Abdul Gafar menuturkan, bahwa para gelandangan tersebut kebanyakan berasal dari luar wilayah kota Padang bahkan luar provinsi Sumbar. Alhasil petugas di lapangan selama ini cukup kewalahan mengidentifikasi orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan itu.
“Kita sudah melakukan beragam upaya untuk menanggulangi permasalahan ini. Salah satunya adalah penertiban yang dilakukan bersama Satpol PP serta pihak-pihak lainnya. Namun tetap saja para gelandangan tersebut kembali ke kawasan Kota Padang,” kata Abdul Gafar.
Selain diadakan penertiban sebenarnya pihak Dinas Sosial juga berupaya melakukan tahap pemulihan lebih lanjut, namun pelaksanaan pemulihan intensif untuk ODGJ tersebut tidak dibarengi dengan fasilitas layanan kesehatan jiwa yang memadai. Akhirnya sebagian besar ODGJ tidak terdeteksi, tidak diobati, menjadi kronik, mengalami kecacatan, menjadi korban kekerasan, dipasung dan menggelandang.
Sehingga dibutuhkan identitas diri yang bersangkutan yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab pihak keluarga. Hal lain yang tidak kalah penting adalah informasi yang selama dirasakan masih minim.
“Jadi banyak di antara masyarakat yang belum mengetahui prosedur dan mekanisme penanganan orang dengan gangguan kejiwaan. Ketidaktahuan masyarakat atau pihak keluarga pada akhirnya memicu sikap acuh dan kelalaian lainnya dalam penanganan kondisi kejiwaan yang bersangkutan,” pungkasnya. (mil)