PADANG, METRO – Terkait pernyataan yang disampaikan pihak Pemko Bukittinggi saat menggelar jumpa pers di ruang rapat utama balaikota, Senin (17/06), pihak Yayasan Stikes Fort de Kock (FDK) pun akhirnya menyampaikan ultimatum untuk terakhir kalinya kepada pemerintah Kota Bukittinggi, untuk mengakhiri semua polemik yang terjadi. Bahkan, pihaknya juga mengingatkan agar jangan sampai terjadi Bukittinggi jilid II.
Hal ini disampaikan kuasa hukum Stikes Fort de Kock, Didi Cahyadi Diningrat. Katanya, Pemko Bukittinggi jangan lagi mengeluarkan pernyataan pernyataan pemberitaan yang bernada sepihak dan kontraproduktif secara mengingkari fakta –fakta hukum yang terjadi selama ini.
“ Apa yang disampaikan oleh pihak Pemko tersebut kami menilai sangat menyesatkan publik serta tidak berdasar secara hukum. Sehingga beberapa hari ini menimbulkan kegaduhan dan memancing suasana menjadi tidak kondusif. Apalagi kami adalah penyenggara pendidikan dibidang kesehatan di Kota Bukittinggi, yang saat ini sedang menyelenggarakan penerimaan mahasiswa baru” ungkapnya, Selasa (18/6).
Karena itu, lanjutnya, dengan itikat baik dan koperatif selama ini, pihaknya juga mengingatkan dan mengimbau jangan sampai terjadi lagi Bukittinggi jilid II di atas tanah tersebut. Seperti diketahui, beberapa tahun lalau sejumlah pejabat dibukittinggi pernah terjerat kasus korupsi di atas lahan tersebut.
“Cukup pengalaman lama itu mengajarkan kita menyelesaikan permasalahan tanah ini dengan cara damai dan baik. Apalagi bila nanti persoalan ini berujung pada aparat penegak hukum. Sehingga tujuan kita untuk bersama-sama membangun Kota Bukittinggi tercapai. Salah satunya pembangunan Kantor DPRD Bukittinggi,” terangnya.
Dia juga mengingatkan, jangan karena ego sektoral dan ego kelembagaan akibat penanganan dan pendekatan yang salah dan keliru selama ini, kasus hukum kembali terjadi di atas tanah tersebut.
Untuk itu, pihaknya mengimbau kepada pemerintah kota Bukittinggi tidak melakukan tindakan atau perbuatan di luar koridor hukum dan tindakan sepihak tanpa ada putusan hukum pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam permasalahan ini, yang akhirnya bisa merugikan kedua belah pihak.
“ Jika itu masih terjadi, maka kami akan mengajukan tuntutan hukum baik pidana, perdata dan administrasi negara,” tegasnya.
Didi menjelaskan, Pada awal tahun 2006 Yayasan Fot De Kock (FDK) telah membeli lahan untuk pembangunan kampus STIKes FDK yang terletak di Bukit Batarah Kelurahan Manggis Ganting Koto Selayan kepada pemilik tanah atas nama Syafri St, Pangeran dengan pengikatan Jual Beli Akta Notaris untuk pembelian tanah seluas 12.000 M², atas PPJB tersebut dapat terealisasi dengan keluarnya SHM dengang luas 2.182 M sedangkan tanah tanah yang lain dibeli kepada pemilik tanah yang berada berdekatan dengan tanah Syafri tersebut0, sehingga total keseluruhan tanah untuk pembangunan Kampus FDK seluas 8000 M2.
Ternyata pada tahun 2007 diketahui juga Pemko Bukittinggi telah membeli tanah dari pemilik lahan yang sama yang telah terikat pengikatan jual beli dengan FDK, dimana atas perbuatan dan peristiwa tersebut, dapat dikatakan bahwa Pemko Bukittinggi adalah Pembeli tidak beritikad baik, sehingga kedudukanya secara hukum tidak dapat dilindungi, sebab karena tidak teliti dan cermat dalam melaksanakan proses jual beli, bahkan dapat diketahuinya secara jelas dan pasti bahwa tanah yang akan dibelinya telah terikat perjanjian dengan pihak lain.
Maka untuk menjamin agar tetap telaksananya ppjb dengan pemilik tamah tetap berjalan, maka pihak FDK meminta kepada pemilik tanah untuk mengkonpensasikan atas panjar yg telah dibayarkan sebesar Rp 425 juta ke bentuk tanah dengan luas 2.182 M2.
Sementara dalam jumpa pers pihak Pemko Bukittinggi yang digelasr di ruang rapat utama Balaikota, Senin (17/06). 0Kabag Hukum Setdako Bukittinggi, Isra Yonza menjelaskan, pada awalnya, Pemko Bukittinggi telah membeli dua bidang tanah seluas 8292 m² secara legal dengan menggunakan APBD tahun 2007 di lokasi Bukit Batarah Kelurahan Manggis Gantiang, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan. Tanah itu, memang berada persis berdampingan dengan tanah yayasan Stikes Fort de Kock.
Kemudian, Yayasan Stikes Fort de Kock membangun kampus stikes pada tahun 2011. Pembangunan kampus itu berasal dari tanah dengan total 7943 m² dengan 3 sertifikat HGB.
Namun dalam pelaksanaannya, pembangunan itu mengambil tanah milik Pemko seluas 1708 m² tanpa izin dari pemko. Kemudian, tanah yang seharusnya untuk fasilitas umum sebanyak 1144 m², sehingga total bangunan yang menyalahi izin seluas 2852 m². Jadi ada dua persoalan, pertama, tanah milik pemko dibangun stikes dan tanah untuk fasilitas umum juga dibangun.
Intinya juga, pada pertemuan pihak stikes dengan pemko, Yayasan Stikes Fort de Kock telah mengakui pembangunan yang dilakukan berada disebagian tanah milik pemko. Untuk itu, pihaknya mengajukan pertukaran tanah sebagai gantinya.(u)