BUKITTINGGI, METRO – DPRD Bukittinggi meninjau lahan rencana pembangunan kantor DPRD di Manggih Gantiang, Mandiangin Koto Salayan (MKS), Bukittinggi, yang terletak persis di belakang Kampus Stikes For de Kock, Selasa.(11/6). Diduga terpakai Stikes kampus Bukittinggi lebih kurang seluas 2200 meter persegi sesuai data dari Pemko Bukittinggi.
Ketua DPRD Beny Yusrial, Wakil Ketua DPRD H Trismon, Ketua Komisi III Rusdi Nurman, anggota Komisi III Dedi Muis dan Sekwan Ermansya serta jajaran bertemu langsung dengan Ketua Stikes Fort De Kock Nurhayati. Hal tersebut dipaparkan Ketua DPRD Bukittinggi Beny Yusrial. Mendapatkan infomarsi kalau tanah rencana pembangunan kantor DPDR Bukittinggi terpakai oleh kampus Fort De Kock seluas 2200 Meter.
”Kami bersama anggota dan sekwan meninjau tanah yang berada di belakang Stikes For de Kock. Ternyata benar di tanah tersebut telah berdiri bangunan kampus Stikes setinggi dua tingkat dengan nilai pembangunan sekitar Rp8 miliar,” ujar Beny.
Dikatakan Beny, DPRD saat ini meminta pihak kampus berkodinasi dengan pemerintahan kota Bukittinggi, bagaimana baiknya pembangunan yang sudah berdiri tersebut, agar tidak ada kesala pahaman antara pihak Kampus.
“Kalau dari pemerinta, h bangunan yang sudah dirikan oleh pihak kampus harus di Robohkan karena berdiri di tanah pemerintahan Kota Bukittinggi,” ungkap Beny.
Sementara, Ketua Stikes Fort De Kock Nurhayati membenarkan, kalau ketua DPRD serta wakil mampir ke kampus untuk bersilaturahmi dan sekaligus meninjau keberadaan tanah rencana pembangunan kantor DPRD tersebut.
Kuasa hukum Stikes Fort De Kock Didi Cahyadi menjelaskan, sebenarnya sebelumnya memang ada permasalahan tumpang tindih lahan antara pembangunan kantor DPRD yang berada di lingkungan Stikes Fort De Kock. Permasalahan ini sebenarnya sudah dimulai dari tiga walikota, muali dari Walikata Jufri hingga Ramlan. Persoalan pada saat masa pemerintahan Walikota Djufri soal pembelian tanah kemudian diam. Pemda tidak banyak lagi mengurus.
Stikes Fort De Kock membeli tanah tersebut pada tahun 2005 dan 2016. Sementara Pemko membeli tanah itu pada tahun 2007, kepada seorang yang sama pemilik lahan tersebut. Bahkan, beberapa proses desain pembangunan tidak ada persoalan, Izin mendirikan bangunan juga tal ada masalah. Kemudian ada satu bangunan tambahan yang diajukan yang sampai sampai hari ini IMB-nya belum keluarkan dari pemerintah.
Kemudian tiba-tiba ada surat peringatan dari Perda agar pertengahan bulan Mei mendatang supaya kampus membongkar tanah yang sudah dipakai untuk pembangunan gedung baru Stikes Fort De Kock. Beberapa kali pembicaraan sudah dilakukan. Bahkan, salah satu solusinya adalah dicarikan tanah pengganti dan tidak mengkaji siapa yang salah dan siapa yang benar. Usulan tersebut awalnya diterima oleh pemko dan kami dipersilahkan ajukan suat.
“Setelah diajukan, disuruh lagi melanjutkan permohonan ke DPRD. Kita pun ajukan. Ternyata, tiba-tiba pembicaraan dengan walikota, bangunan tetap dibongkar dan DPPRD setuju dengan hal itu,” ungkap Didi.
Melihat kondisi berbeda dari kesepakatan awal, tentu Stikes mempertanyakan sikap DPRD dan pemerintah kota. “Sementara kita sudah keluarkan uang untuk cari tanah pengganti,” jelas Didi. Untuk keputusannya, besok DPRD akan rapat peripurna. Salah satu yang akan dibahas adalah soal tumpang tindih tanah Yayasan Stikes Fort De Kock dengan tanah rencana pembangunan kantor DPRD Bukittingi.
“Atas dasar itulah , DPRD, BPN, PU dan Asisten II mengunujungi kampus Stikes Fort De Kock meninjau objek persoalan. Dari hasil kunjungan, setelah dilihat mana yang tumpang tindih, DPRD menyarankan dengan melihat kampus yang sangat bangus dan akan berkembang menjadi Universitas sayang sekali jika pemerintah tidak mendukung,” jelasnya.
Sejak dibangun 2011. Stikes Fort De Kock tidak pernah ada teguran. Artinya selama ini Stikes Fort De Kock cukup koperatif. Saat ini jumlah mahasiswa Stikes Fort De Kock sudah mencapai 2.000 mahasiswa. Banyak dosen dan karyawan serta masyarakat yang telah menggantungkan hidup di situ.
“Sesuai dengan sesui PP 48, kami berharap seharusnya pemerintah daerah harus memfasiltasi peningkatan dan pengembangan pendidikan ini. Kita sangat menyangkan jika ada bahasa-bahasa pembongkaran,” ujar Didi. (u)