JAKARTA, METRO – Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan Ustaz Bachtiar Nasir alias UBN sebagai tersangka kasus pencucian uang terkait pengalihan aset Yayasan Keadilan Untuk Semua (YKUS). Mabes Polri memastikan jerat hukum untuk ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) itu didasari bukti kuat.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, status tersangka untuk UBN bukan upaya mengkriminalisasi ulama. Sebab, penetapan status tersangka itu berdasar fakta hukum yang ada.
”Jadi tolong rekan-rekan membacanya setiap apa yang dilakukan penyidik Polri selalu berlandaskan fakta hukum,” kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (7/5).
Menurut Dedi, semua orang punya posisi sama di depan hukum. Karena itu Dedi menegaskan, hendaknya dalam kasus UBN yang dilihat bukan soal ulamanya, tetapi perbuatannya.
”Melihat statusnya orang tersebut harus bertanggung jawab perbuatan apa yang ia lakukan. Jadi jangan tanda kutip dipersepsikan yang lain,” ujar Dedi.
Lantas, mengapa polisi baru menggarap kasus yang muncul pada 2017 itu? Dedi beralasan penyidik baru saja menemukan bukti baru yang mengarah pada keterlibatan UBN. Oleh karena itu penyidik menjerat UBN sebagai tersangka. “Nanti akan diklarifikasi terkait beberapa temuan-temuan penyidik,” ujarnya.
Sementara itu, melalui pengacaranya, Kapitra Ampera, Bachtiar menyampaikan akan memenuhi panggilan tersebut.
“Insya Allah saya akan hadir,” ucap Kapitra menyampaikan pesan Bachtiar, Selasa (7/5).
Dalam kasus ini, polisi juga telah menetapkan satu orang tersangka bernama Islahudin Akbar. Polisi menduga ada aliran dana dari Bachtiar untuk perjalanan ke Turki. Padahal YKUS didirikan untuk mengumpulkan donasi bagi Aksi Bela Islam 411 dan 212.
Dalam surat yang beredar itu, Bachtiar disangka melanggar Pasal 70 juncto Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 atau Pasal 374 KUHP juncto Pasal 372 KUHP atau Pasal 378 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP atau Pasal 49 Ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan atau Pasal 63 Ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Pasal 3 dan Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. (rmol/jpc)