“Kita melihat duka mendalam di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Data-data resmi pemerintah menunjukkan gambaran betapa dahsyatnya dampak yang harus ditanggung daerah terdampak bencana. Namun ironisnya, pemerintah kabupaten seringkali tak berdaya melakukan pencegahan karena kewenangan pengelolaan hutan dan izin tambang di hulu berada di tangan pusat. Daerah menanggung risiko dan nyawa rakyatnya, tapi tidak punya kuasa atas kebijakan hulunya. Ini ketimpangan struktural yang harus segera dikoreksi,” tegas Bursah Zarnubi.
Apkasi menilai ini adalah alarm keras mengenai paradox kewenangan, di mana daerah berada di garis terdepan saat bencana namun tidak memiliki kuasa atas kebijakan hulu seperti izin tambang dan pengelolaan hutan. Merespons duka tersebut, Apkasi bergerak cepat mewujudkan solidaritas melalui program Apkasi Peduli Bencana. Menindaklanjuti imbauan Menteri Dalam Negeri, Apkasi memobilisasi gotong royong dari pemerintah kabupaten anggota, mitra kerja, hingga masyarakat umum untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan secara langsung.
Menutup catatan tahun ini, Apkasi juga memberikan atensi pada dinamika politik lokal pasca-Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Apkasi mendesak pemerintah segera menyiapkan payung hukum transisi yang jelas demi menjamin stabilitas pemerintahan selama masa jeda pemilu nasional dan daerah. Kejelasan mengenai status kepala daerah dan mekanisme penunjukan penjabat (Pj) sangat krusial untuk menjamin roda pemerintahan tetap stabil dan berkelanjutan selama masa transisi.
Apkasi juga berkomitmen mewadahi 416 kabupaten demi mewujudkan otonomi daerah yang adil, bersih, dan bermartabat. Apkasi berkomitmen untuk terus menjadi mitra kritis pemerintah pusat, memastikan bahwa suara daerah bukan sekadar pelengkap, melainkan penentu arah kemajuan bangsa. (jpg)














