Menurut dia, AI tidak hanya digunakan sebagai alat pertahanan, tetapi juga berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku ancaman untuk meningkatkan skala dan kompleksitas serangan.
“Dalam konteks tersebut, pengembangan kapabilitas SDM menjadi faktor kunci. Pelatihan yang adaptif dan berbasis teknologi mutakhir dibutuhkan agar institusi mampu merespons ancaman siber secara cepat dan tepat,” ujar Patrick dalam keterangan tertulis.
Nilai kontrak dan durasi kerja sama ini mencerminkan meningkatnya perhatian terhadap pembangunan kapasitas SDM siber sebagai bagian dari pertahanan non-konvensional.
Keamanan siber kini dipandang sebagai salah satu domain strategis, seiring meningkatnya ketergantungan institusi negara terhadap sistem digital dan jaringan informasi.
Dari sisi korporasi, CYBR menilai kerja sama tersebut berpotensi memperluas portofolio layanan edukasi dan pengembangan talenta di bidang keamanan siber dan AI.
Kontribusi terhadap pendapatan perseroan akan bergantung pada realisasi jadwal serta ruang lingkup layanan pelatihan selama periode kontrak berlangsung.
Patrick juga menyebutkan bahwa model pelatihan yang dikembangkan bersifat modular dan fleksibel, sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan profil risiko masing-masing institusi.
Pendekatan ini dinilai memungkinkan penguatan kapabilitas lintas sektor, khususnya dalam membangun kesiapan jangka panjang di bidang keamanan siber.
Ke depan, meningkatnya eskalasi ancaman digital diperkirakan akan membuat penguatan kapasitas SDM siber menjadi agenda penting bagi berbagai kementerian dan lembaga.
Kerja sama jangka panjang seperti ini dinilai mencerminkan pergeseran strategi pertahanan yang tidak lagi bertumpu pada aspek konvensional semata, tetapi juga pada ketahanan sistem dan manusia di ruang siber. (jpg)















