Ia menyebut, keterlibatan mahasiswa bisa diarahkan pada kerja-kerja konkret, seperti pembersihan material bekas banjir, sedimen lumpur, hingga pemulihan lingkungan di kawasan permukiman dan fasilitas umum.
Namun, Defri mengkritik kebijakan yang justru menjadi penghambat inisiatif tersebut. Ia mencontohkan adanya kampus yang telah melakukan kegiatan pembersihan, tetapi dikenakan biaya “uang asam” untuk pembuangan material sedimen.
“Ini ironi. Ketika kampus dan mahasiswa sudah bergerak membantu, justru dibebani biaya pembuangan. Harus ada kebijakan yang membebaskan atau mempermudah ini,” tegasnya.
Menurut Defri, jika material sisa bencana dapat segera dibersihkan secara masif dan terkoordinasi, roda ekonomi masyarakat akan lebih cepat berputar kembali. “Kalau lingkungan bersih, aktivitas ekonomi bisa berjalan lagi. Ini sederhana, tapi dampaknya besar,” ujarnya.
Pernyataan Ketua IJTI Sumbar tersebut menegaskan, pemulihan pascabencana tidak cukup hanya mengandalkan anggaran dan birokrasi.
Dibutuhkan keberanian kebijakan, pelibatan kampus, serta dukungan nyata bagi kerja-kerja kemanusiaan agar Sumbar dapat bangkit lebih cepat dan bermartabat.(rel/fan).

















