Dalam perkembangannya, jaksa memfasilitasi upaya perdamaian antara pelaku dan korban di Rumah Keadilan Restoratif, Desa Kampung Baru, Kecamatan Pariaman Tengah. Pada kesempatan tersebut, Syafrizal menyampaikan permohonan maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
“Perkara ini kami ajukan untuk diselesaikan melalui keadilan restoratif karena telah memenuhi syarat sesuai Perja Nomor 15 Tahun 2020,” jelas Wendry.
Ia menyebutkan, sejumlah pertimbangan yang mendasari penerapan keadilan restoratif antara lain adanya kesepakatan damai antara pelaku dan korban, pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana, serta ancaman hukuman di bawah lima tahun.
“Alasan lainnya, tersangka menyesal, berjanji tidak mengulangi perbuatannya, dan hubungan keduanya masih keluarga dekat. Korban juga telah memberikan maaf,” ujar Wendry.
Selain itu, hasil penilaian kepribadian menunjukkan bahwa Syafrizal dikenal berperilaku baik di lingkungan tempat tinggalnya, tidak pernah terlibat masalah hukum sebelumnya, hidup dalam kondisi ekonomi sederhana, serta menjadi tulang punggung keluarga.
Setelah permohonan penghentian penuntutan disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Kejari Pariaman menetapkan bentuk pembinaan sosial bagi tersangka.
“Pembinaan disesuaikan dengan latar belakang tersangka yang tidak tamat sekolah dasar. Ia dikenakan sanksi sosial berupa kewajiban membersihkan Masjid Raya Ulakan Tapakih setiap Jumat selama satu bulan di bawah pengawasan tokoh masyarakat, serta mengikuti kegiatan sosial lainnya,” kata Wendry.
Usai proses keadilan restoratif tersebut rampung, Kejari Pariaman memulangkan Syafrizal kepada keluarganya pada Rabu (17/12) di aula kejaksaan. Rompi tahanan dilepaskan, dan tersangka diserahkan secara resmi kepada ibunya, yang juga merupakan nenek dari korban. (ozi)




















