Memasuki wilayah Malalak dari Sicincin ke Balingka (Simaka), Minggu (7/12), jorong terkena bencana pertama yang ditemukan adalah Jorong Toboh, Nagari Malalak Timur. Ketika berdiri di jalan utama, terlihat jelas bekas longsoran. Lebarnya sekitar 100 meter. Panjangnya setinggi turunan di perbukitan. Meluncur dari bukit ke perkampungan.
Salah seorang putra daerah, Yurisman yang juga tokoh pemuda setempat menyebutkan, diperkirakan sumber air yang meluluhlantakkan Jorong Toboh, longsoran dari Gunung Singgalang, airnya berhulu dari Telaga Dewi. Dari Jorong Toboh ke Telaga Dewa ada 10 tingkat air terjunnya.
Di Jorong Limo Badak, empat rumah hanyut, begitu pun di Subarang Gauang.
Di Malalak Utara, ada dua jembatan putus. Di Jorong Sigiran, 15 ha sawah dan 20 ha kebun hancur berantakan. Di Jorong Salimpauang, aliran sungai Batang Kasai meluap sehingga meruntuhkan jembatan yang menghubungkan Sigirandan Campago. Putusnya jembatan ini membuat Nagari Malalak Barat terisolasi.
Puluhan hektar lahan di Campago dihondoh banjir. Aliran Batang Sariak yang melintasi Sigiran dan Salimpauang meluap dengan ketinggian air mencapai 30 meter. Lahan perkebunan dan pertanian habis. Sekitar 5.000 pohon casiavera hanyut. Di Nagari Malalak Selatan, jembatan putus, Jorong Siniakair terisolasi.
Beberapa bagian material ada yang sudah disingkirkan, namun lebih banyak yang belum digarap. Banyak bantaun yang datang, akan tetapi ada yang belum hilang.
“Rasanya belum hilang,” kata Yurisman, yang juga wartawan harian terbitan Sumbar sembari menyebutkan, di kampungnya ada tiga titik longsoran. Ratusan nyawa melayang. Ratusan rumah hancur dan hilang ditelan longsor.
Setiap malam sejak kejadian, apalagi jika hujan turun, dirinya dan keluarga serta warga dihantui ketakutan luar biasa. Saat kejadian adalah masa yang sangat mencekamdan sangat menakutkan. Ia kemudian memberikan ilustrasi dalam istilah rang Minang; CandoNago Baraliah Disaratoi Talempong Jania. Maknanya seperti naga yang berpindah tempat lalu disertai bunyi tak karuan yang memekakkan telinga.
Ilustrasi naga berpindah tempat terjadi di dalam tanah. Tanah longsoran turun secara bergelombang, tidak bisa dihentikan. Hentakannya sangat mengguncang. Pada saat bersamaan bunyi-bunyian dimaksud adalah longsoran yang membawa air, lumpur dan batu yang saling beradu.
Tak jauh dari balik bukit di Nagari Malalak, pekerja sedang berpacu menyelesaikan rehabilitasi pembangunan jalan di kawasan Lembah Anai. Jalan negara tersebut putus karena deras dan besarnya debit air sehingga melimpah ke jalan. Membuat jalan tersebut putus.
Minggu (7/12), terlihat ratusan kendaraan roda dua menunggu pembukaan jalan, setelah jalur al ternatif ditutup pekerja. Jalur tersebut dibuka warga di sisi kiri jalan dari arah Padang – Bukittinggi, tepatnya di jalur rel kereta api yang tak lagi berfungsi, tetapi jalur tersebut ditutup karena mengganggu proses orang kerja.
Pemerintah memberikan akses membuka jalur yang sedang dikerjakan menggunakan jadwal tertentu, yakni pagi sebelum kerja, istirahat siang dan selesai kerja. Di bawah siraman hujan, pelintas jalur tersebut setia menunggu.
Kayu Gelondongan di Pantai
Galodo di Padang membawa air berlumpur, material batu dan kayu gelondongan, Kamis (27/11), menyentak banyak orang. Seketika pantai di kawasan Air Tawar, Kec Padang Utara, menjadi viral. Media dan masyarakat tumpah ruang ke lokasi.
Pemerintah kemudian mengerahkan alat berat untuk menyingkirkan dan merapikan posisi kayu-kayu besar tersebut. Pembersihan dilakukan agar sampan dan bagan nelayan bisa mendarat ditepian.
Viralnya pantai tersebut karena kayu-kayu yang terdampar sangat besar. Ada yang ditemukan dengan bekas gergajian yang rapi, ada juga yang bernomor.Belakangan ada sejumlah warga yang memanfaatkan situasi.
Saat berada di lokasi, Senin (8/12) pagi, terdengar bunyi alat pemotong kayu. Ketika sumber bunyi didekati, terlihat tiga orang sedang bekerja. Mereka memotong kayu-kayu di pinggir pantai.
Tak jauh dari mereka, petugas kebersihan dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Padang membersihkan pantai. Ada tiga truk sampah menampung material yang dikumpulkan pekerja, sehingga pantai bisa didarati kembali oleh sampan dan bagan nelayan.
Menjelang tengah hari, bunyi alat pemotong kayu berhenti. Tak lama berselang, sejumlah lelaki berpostur berisi terlihat menyisiri pantai. Ketika mereka melintas, sebuah pertanyaan diajukannya.
“Tadi ada yang memotong kayu di sana,” kata saya sambil menunjuk ke sumber bunyi sebelumnya, “sekarang tak ada lagi bunyinya,”
Rombongan tersebut bergegas ke arah yang disebutkan, tapi tak ada siapa-siapa lagi di sana.
Membangun Hunian Sementara
Disalah satu sudut Kelurahan Batu Busuak, Kec Pauah, Kota Padang, terpatri semangat bangkit satu keluarga besar. Terdiri dari 11 KK dengan 48 jiwa. Mereka membangun Hunian Sementara (Huntara) dengan menghimpun semua keluarga.
Galodo di Batu Busuak terjadi 26-28 November 2025. Satu keluarga besar, dalam istilah Minang disebut KeluargaSaparuik (satu keturunan), turut menjadi korban. Empat unit rumah mereka hanyut, empat unit rusak berat, tiga rumah rusak sedang tetapi tidak boleh lagi ditempati karena sudah berada di pinggir sungai.
Keluarga Saparuik ini berasal dari Kapalo Koto. Awalnya mereka tinggal bersama dengan orang tuanya. Ketika menikah dan memiliki rezeki, satu persatu diantaranya mereka membangun rumah dan pindah ke rumah barunya. Masih di wilayah Batu Busuak.
Ketika galodo meluluhlantakkan kehidupan yang dibangun bersama keluarga barunya, mereka dibawa pulang oleh sang ayah, Usar (78) ke kampung keluarganya. Dalam adat Minangkabau, keluarga ayah disebut Bako oleh anak-anaknya. Mereka menetap di rumah berukuran 4×6 meter. Semua berkumpul di sana.
Beberapa hari berselang, diseperti diungkapkan Dasrul, salah seorang diantara keluarga besar tersebut, mereka berpikir harus melakukan sesuatu. Jika terus bertahan di rumah sekarang, kondisinya bisa memburuk karena kapasitas rumah tak memadai oleh jumlah yang banyak.
Akhirnya mereka bersepakat membangun Huntara untuk keluarga besarnya. Lahan sudah ada, tepatnya dibekas kediaman mereka, sebelum menikah. Tapak “rumah gadang” mereka ada dekat jembatan Talang, persisnya di RT 03 RW IV, Kelurahan Kapalo Koto, di sana Huntara dibangun bersama.
Diantara bantuan yang diterimanya, Senin (8/12) malam, Dasrul dan keluarga besarnya mempacking ulang bantuan yang diterima. Walau harus “menghidupi” 48 jiwa dalam sebuah keluarga besar, mereka tak mau menikmati sendiri. Banyak warga yang juga membutuhkan, sehingga bantuan yang diterimanya juga didistribusikan kepada keluarga lain.
“Awalnya kami tak tahu, dari mana dananya, tetapi tekad kami sudah bulat. Kita mulai dulu,” kata Dasrul, Selasa (9/12) pagi.
Mereka memulai dari menebang pohon pinang untuk “pondasi” dan tiang, lalu material rumah mereka yang masih bisa dipakai, dikumpulkan. Belakangan ada-ada saja bantuan yang datang. Mereka mendirikan dua bangunan memanjang. Posisinya leter L. Satu bangunan memiliki enam kamar, di depannya ruangan lepas. Bangunan lainnya lima kamar. Konstruksinya sama.
Rabu (10/12) pagi, sebuah panggilan muncul di selular saya. Orang yang menghubungi sangat saya kenal, tapi sudah lama tidak jumpa dan tak berkomunikasi. Ketika saya menerima panggilannya, Ia langsung bertanya.
“Saya dapat kabar, kemarin Abie ke Batu Busuak, tempat Dasrul, ya?” tanyanya.
Saya mengiyakan.
Ia kemudian menanyakan, saya mengendari apa dan melalui jalan mana. Saya menjawab apa adanya.
“Sama mobil, melintasi jalan beton yang ada,”
“Melintasi depan SMPN 44 Padang?” tanyanya.
“Memangnya ada apa?” saya balik bertanya.
Ia menyebutkan, jalan di depan sekolah tersebut memang jalan kampung berbeton. Di kirinya aliran sungai Batu Busuak berair keruh. Jalan yang terlihat biasa tersebut memiliki ancaman bencana. Di bawah lapisan beton, tanahnya alahbaloong (cukam, atau berlobang di bagian dalam) karena digerus air terus menerus.
Saya terkejut. Astagfirullah!*
*Penulis adalah Wartawan Utama Posmetro Padang
















