Ketika satu persatu menikah, memiliki keluarga kecil, memiliki rezeki, mereka kemudian membangun rumah impian bersama keluarga baru masing-masing. Rumah baru mereka tidak terlalu jauh dari rumah tua. Mereka bisa ke rumah tersebut setiap hari, kapan saja.
Belakangan rumah tua itu semakin dimakan usia, lapuk dan kemudian tak lagi digunakan sejak tahun 1990. Hanya tersisa bekas semen di beberapa bagian di lapangan rumput yang kini sudah berdiri hunian sementara bagi mereka.
Hunian sementara satu keluarga besar tersebut dari diskusi mereka tiga hari pascabencana, terdiri dari dua bangunan memanjang. Bangunan yang pertama selesai, menghadap ke Barat, terdiri dari enam kamar, lalu ruang depannya lepas tanpa sekat. Bangunan kedua, menghadap ke Utara, terdiri dari lima kamar. Konstruksinya sama dengan bangunan pertama.
Dasrul mengisahkan, setelah diskusi keluarga, mereka sepakat untuk mendirikan bangunan tersebut. Ketika hendak memulai, tiba-tiba pandangan mereka nanar. Biayanya dari mana? Harta benda mereka sudah dibawa air hingga ke muara, sudah digulung lumpur tanpa sisa.
“Kita mulai dengan Bismillah!” kata mereka sepakat.
Langkah awal, pohon pinang mereka yang masih tersisa, ditebang. Dijadikan tiang pancang penyangga banggunan rumah panggung. Batang pinang lainnya direbahkan di atas tiang panjang, kira-kira satu meter dari permukaan tanah. Kombinasi batang pinang dan kayu dijadikan penyangga dinding dan atap.
Ketika proses berjalan, tiba-tiba selular Dasrul berdering. Temannya menghubungi untuk sebuah urusan, sekaligus menanyakan kondisinya. Dasrul menceritakan apa yang sedang dilakukan. Sang teman kemudian mengirimkan bantuan berupa triplek tebal.
“Bisa digunakan untuk lantai,” katanya sambilmenepuk-nepuk lantai triplek yang penulis duduki saat berkunjung ke bangunan yang sedang dalam pengerjaan.
Dirinya beserta keluarga besar mereka tak pernah menduga, bantuan datang seakan tanpa henti. Ada saja beragam bantuan yang tiba. Malahan Ia juga mendapat bantuan dari seseorang di Batam yang tidakdikenalnya sama sekali. Dirinya juga yakin, orang tersebut tidak mengenal dirinya.
“Bantuannya dalam bentuk uang tunai, insyaallah bisa dibelikan untuk semen,” kata Dasrul.
Diantara bantuan yang diterimanya, Senin (8/12) malam, Dasrul dan keluarga besarnya mempacking ulang bantuan yang diterima. Walau harus “menghidupi” 48 jiwa dalam sebuah keluarga besar, mereka tak mau menikmati sendiri. Banyak warga yang juga membutuhkan, sehingga bantuan yang diterimanya juga didistribusikan kepada keluarga lain.
Ia menyebut, di kampungnya, Koto Tuo, rasa persaudaraan sangatlah kental. Kalau pun tak ada hubungan kekerabatan, tetapi karena satu kampung, rasa yang mereka bawa selalu dipelihara. Mereka serasa sudah satu keluarga besar yang sangat besar. Apalagi dalam situasi bencana, rasa yang ada semakin melekat.
Sosok anak muda yang di kampungnya akrab disapa Idaih, buka kartu. Bangunan yang enam kamar, justru dibantu sepenuhnya olehs ebuah organisasi kepemudaan. Bantuan tanpa syarat diterimanya dengan perasaan haru.
Target jangka menengah, setelah kondisi mulai membaik dan mereka beraktivitas normal, impian yang terpampang bagi keluarga saparuik ini adalah membangun kembali rumah permanen, minimal semi permanen dalam satu kawasan hunian keluarga.
“Kini kami kembali ke rumah tua, di sini kami berkumpul dalam suasana yang berbeda,” kata Dasrul yang sehari-hari anggota komisioner di KPID Provinsi Sumatera Barat. (***)
















