Salah satu tantangan dalam MRPN ini adalah banyaknya Lembaga publik yang kesulitan menerapkan manajemen risiko karena keterbatasan SDM yang jarang memiliki kompetensi teknis dalam manajemen risiko, kurangnya pemahaman lintas bidang (gizi, logistic, kesehatan, keuangan) untuk menyusun risk map yang menyeluruh. Selain itu, MRPN menuntut Lembaga yang sedari awal bergerak dengan pola “menghindari masalah yang muncul” menjadi “mencegah risiko sedari awal”.
Namun birokrasi Indonesia masih terpaku pada format administrasi yang focus menata struktur, SOP, dan anggaran selanjutnya komitmen dari pimpinan juga menjadi salah satu factor yang penting, bahwa tanpa komitmen pimpinan, manajemen risiko hanya akan menjadi formalitas saja. Untuk itu, pimpinan harus memprioritaskan risiko sebagai bahan rapat strategis dan memastikan koordinasi lintas sector berjalan dengan lancar.
Membahas tentang koordinasi lintas sector, aspek ini yang cukup sulit terutama karena tiap kementerian punya budaya kerja yang berbeda, tidak semua Lembaga yang merasa memiliki MBG, data antar-instansi yang terkadang tidak sinkron seperti akses data kesehatan anak yang dimiliki Kemenkes, data siswa (Kemendikbud), data UMKM, data kualitas pangan, dsb.
Dengan fakta bahwa BGN adalah Lembaga baru, sementara beban kerja yang diemban berskala nasional dan kompleks, membuat BGN memprioritaskan operasional program seperti distribusi logistic dan ketersediaan pangan dibanding mempersiapkan fondasi strategi manajemen risiko yang kokoh sebagaimana yang dituntut oleh MRPN. Dengan beban besar sejak hari pertama, BGN menghadapi risiko “ kelelahan institusional” dimana sumber daya dihabiskan untuk penyelenggaraan program harian sehingga penerapan MRPN tidak berkembang optimal.
Dengan mengacu pada temuan dan prinsip umum dari berbagai jurnal terverifikasi, terlihat bahwa keberhasilan jangka panjang MBG hanya dapat dicapai jika strategi manajemen risikonya dijalankan sesuai MRPN, kolaborasi antar sektornya dibangun secara formal dan sistematis, dan BGN mampu mengembangkan strategi kelembagaan yang konsisten.
Tanpa integrasi ketiga aspek tersebut, program sebesar MBG akan tetap rentan terhadap hambatan koordinasi, masalah kualitas makanan, dan ketidakseimbangan implementasi antar daerah. Namun dengan strategi yang selaras dengan literatur akademik dan pendekatan MRPN, MBG berpotensi menjadi model kebijakan gizi yang efektif dan berkelanjutan di Indonesia. (***)

















