Saya kemudian terus mengikuti postingan Uni Nanik Muis. Sehari kemudian, beliau mengabarkan. Jenazah yang ditemukan; Darman di RSUD Padangpanjang, Ustaz Nof di RS Bhayangkara Padang, Yessi di RSUD Pariaman, Etek Ijuieh Yusna baru disemayamkan di RSUD Padangpanjang, Apak Menan Idris?? Farel, anak Yessi?? Delfianto, suami Yessi??
Saya hanya mengenal Yessi. Saya biasa menyapa beliau dengan panggilan Uni Yessi. Biasanya kalau mampir di kedai, bisa dipastikan bertemu Uni Yessi karena beliau sehari-hari berada di kedai. Menyeduh dan menyuguhkan kopi, memasakkan mie sesuai pesanan. Beliau terkesan pendiam, tetapi jika disapa dan diajak bicara, beliau akan menyahut dan menjadi kawan bicara yang ramah dan elok.
Apak Menan Idris, saya baru tahu nama beliau dari postingan Uni Nanik Muis. Walau sudah mengenal beliau sejak tahun 2012, tapi saya tak tahu namanya. Saya hanya memanggil dengan panggilan ayah. Ada kisah mengapa saya memanggil ayah kepada beliau.
Dihari yang sama, Uni Nanik Muis kembali memposting informasi terbaru tentang keluarga beliau. Jasad Etek Ijueh Yusna sudah ditemukan. Postingan itu dilengkapi foto. Ada lima orang di foto. Teks fotonya menyebutkan, Maman yang baju biru, Etek yang jilbab maron, Apak Menan Idris baju putih????
Dua jam berselang, ada lagi postingan terbaru. Uni Nanik Muis menulis, Baru saja selesai jenazah Etek Yusna disalatkan anak dan mantunya, tiba-tiba datang kantong mayat di RSUD Padangpanjang. Setelah melihat jenazah, Rahmat langsung menangis karena satu dari kantong mayat adalah ayahnya, Apak Menan Idris yang ditandai dengan sarungnya yang masih utuh serta singlet putih. Menurut kebiasaan Apak Menan Idris, setiap setiap pukul 11.30 sudah berada di musala. Ternyata ketika itu, Ayah masih di rumah karena belum memakai baju koko dan kopiah putih.
Keingintahuan saya tentang perkembangan kondisi ayah dan keluarganya sangat tinggi. Postingan facebook Uni Nanik Muis menjadi sumber informasi. Ada rasa yang menyangkut dalam diri saya tentang ayah dan Uni Yessi, namun lebih dalam tentang ayah.
Saya dan Uni Yessi serta ayah tak ada hubungan darah. Tidak pula sesuku. Tidak pula sekampung. Tak ada hubungan Ipa Bisan. Bukan pula sepengajian. Saya hanya orang yang lewat di depan kedai beliau, kemudian berhenti, mampir untuk istirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan.
Saya sampaikan kepada Uni Nanik Muis. Ditahun 2015 saya pernah menulis tentang sosok ayah, namun mungkin beliau tidak pernah tahu tulisan itu ada. Saya memang tidak memberitahunya. Tulisan tersebut dimuat di Padang Ekspres, Minggu 10 Mei 2015. Kisah itu saya tulis dari pertama kali bertemu ayah, tiga tahun sebelumnya. Disaat saya sedang duduk di kedai ayah –demikian saya memberikan identitas kedai tersebut– empat orang anak muda yang berseberangan meja dengan saya, terlihat agak panik.
Seorang lelaki –belakangan saya memanggilnya ayah– sudah berumur, mendekati mereka. Keempat anak muda itu mambana kepada ayah. Uang mereka tak cukup untuk membayar makanan yang sudah dimakan. Mereka menyerahkan sejumlah uang, lalu ktp dan satu hp. Mereka berjanji, jika kembali ke Padang, akan mampir lagi di kedai untuk membayar kekurangan uangnya, sekaligus mengambil ktp dan hp.
Ayah menolak ktp dan hp mereka. Ditatapnya anak muda tersebut, beliau tak mau menerima barang anak muda tersebut. Katanya, pasti kalian sangat membutuhkan barang-barang tersebut. Ayah hanya menerima uang yang mereka berikan. Menurut anak muda tersebut, uangnya kurang.
“Kalian dari mana dan hendak ke mana?” tanya beliau.
Mereka menyebutkan, dari Padang. Mereka kuliah di Padang. Rencana mau pulang kampung ke Tanah Datar. Mereka menyebutkan nama kampungnya, tetapi saya lupa.
Ayah kemudian menggambil beberapa lembar uang yang baru saja diterima, lalu diserahkan kepada mereka. Saya tak tahu persis berapa uang yang diterima beliau sebelumnya, berapa pula yang diserahkan kepada anak muda tersebut.
“Perjalanan kalian masih jauh. Silakan ambil untuk berjaga-jaga di jalan,” kata beliau.
Anak muda tersebut saling bertatapan. Mereka tak mau menerima. Ayah terus mendesak, “kalau ban kalian nanti bocor, dengan apa membayar biaya tambalnya?” tanya ayah.
Mereka akhirnya dipaksa menerima, kemudian beliau mengatakan, tak usah panggil Pak atau Bapak. Panggil saja ayah. Mereka mengangguk sembari mengatakan, ketika akan kembali ke Padang mereka mampir untuk membayar utangnya.
“Tak usah kalian pikirkan. Kalau kalian mampir, silakan. Kalau nanti uangnya diberikan, ayah terima, tapi kalau tidak, sudah ayah ikhlaskan. Tak ada utang ananda di kedai ayah,” katanya.
Saya tertegun.
Sepeninggal anak muda tersebut, saya menyapa ayah, kemudian menanyakan sejumlah hal. Saya penasaran, kedainya tidak besar, namun mau memberikan begitu saja, padahal anak muda tersebut belanja, lalu uangnya kurang. Dimaafkan begitu saja.
“Diikhlaskan,” kata beliau mengoreksi, “ayah ikhlaskan saja, sebab pintu rezeki dari dari Allah sangat banyak. Jika kita berbuat baik dan ikhlas, niscaya akan banyak pintu rezeki yang terbuka,” katanya.
Beliau mengatakan, dirinya tak sampai hati kalau anak-anak tersebut meninggalkan barang-barangnya, kemudian berstutus punya hutang di kedainya.
“Mereka sedang berjuang untuk masa depannya. Kita harus lapangkan jalan siapa saja yang membutuhkan dan kita bisa membantunya,” kata ayah.
Saya tertegun. Kini kian tertegun. Ayah telah pergi untuk selamanya bersama isteri, serta lima keluarga besarnya, termasuk garin di musalanya. Musala yang dibangun ayah, rusak parah.
Semoga ayah dan keluarga besar Husnul Khotimah.
Lembara Lama Bencana Padangpanjang
Dibuka lembaran lama, 38 tahun silam, ada galodo Bukik Tui. Terjadi Senin, 4 Mei 1987. Kejadiannya dibulan Ramadan. Tercatat 131 orang meninggal dunia, 9 orang dinyatakan hilang. Suasana dibulan Ramadan tersebut benar-benar terasa sulit bagi warga Padangpanjang. Tangis pilu menyertai bedug berbuka.
Satu abad ke belakang, terjadi gempa yang melegenda. Tak hanya bagi warga Padangpanjang, tetapi di seluruh Sumatera Barat. Gempa tersebut benar-benar menjadi kenangan. Terjadi Senin 28 Juni 1926. Koran Deli, edisi 29 Juni 1926 melaporkan; stasiun kereta api, kantor pos, sekolah, apotek, bangunan militer, semua rusak parah. Kamp Tionghoa runtuh, rumah sakit runtuh, jalur transportasi rusak, komunikasi putus. Air danau Singkarak meluap, longsor dimana-mana. Tercatat 354 orang meninggal dunia, ribuan luka-luka.
Jembatan kereta api di Kandang Ampek, Lembah Anai dan Padang Lua rusak berat. Kabar gempa yang terjadi pukul sepuluh pagi itu justru baru diketahui “dunia luar” ketika “dua utusan” dari Padangpanjang —seorang tentara dan seorang Tionghoa— menyampaikan langsung ke Padang. Keduanya tiba menjelang lewat malam. Kondisi mereka dalam keadaan terluka.* (Firdaus Abie)













