Lalu bagaimana kira-kira hasil dari fastabikul khairat mereka ini? Apakah partai politik paling lantang bersuara, paling banyak postingan, atau paling banyak menurunkan bantuan akan serta merta memenangkan kontestasi politik pada pemilihan umum yang akan datang? Tunggu dulu. Dari pengalaman yang ada, hal itu tidaklah bersifat otomatis. Apalagi di tengah rezim Pemilu langsung kali ini. Investasi sosial yang besar tidak otomatis menjamin seorang politisi melenggang mulus mendapat kursi parlemen. Anda tentu masih ingat dengan istilah politik uang atau money politic dalam pengaruhnya pada perilaku memilih. Bagaimana uang dapat mempengaruhi pilihan politik seseorang.
Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi yang melakukan survey terkait politik uang pada Pemilu tahun 2024, dia mendapat data bahwa 35 persen responden menentukan pilihannya karena uang di Pemilu 2024. Delapan persen responden dengan tegas menolak politik uang. Sisa 57 persen responden berada dalam posisi yang dapat dipengaruhi oleh politik uang.
Menyimak data dan fenomena diatas, maka fastabiqul khairat kebencanaan partai politik saat ini hendaknya dikembalikan ke khittah sebenarnya dari sebuah aksi sosial an sich.
Murni membantu tanpa embel-embel. Tinggalkan dulu motif politik kekuasaan, karena begitu anda berharap akan mendapat imbalan politik dari aksi sosial ini, maka siap-siap anda akan kecewa nantinya. Barangkali anggapan itu pulalah yang membuat, sebagian partai politik dan politisi justru tidak ikut fastabiqul khairat kebencanaan kali ini. Mereka berfikir, buat apa buang-buang peluru hari ini, toh besok logistik hari h lah yang menentukan pilihan politik sebagian besar pemilih. Toh, hanya 8 persen yang menolak politik uang, sisanya akan goyah dengan uang.
Jika boleh mengelompokkan, barangkali inilah yang disebut dengan kelompok oportunis politik. Setiap langkah dihitung dengan untung rugi materi. Sehingga, meski warga atau konstituennya sedang ditimpa bencana, tak tergerak hatinya untuk ber fastabikul khairat. Pemilu masih lama, nanti sajalah. Mungkin itu gumam mereka. Sebagai rakyat tentu amat malang nasibnya. Tak bisa juga disesal, karena sikap itu tumbuh karena perilaku memilih sebagian besar kita. Memilih karena uang yang tak seberapa. Apapun, kita angkat topi buat partai politik dan politisi yang tetap setia bekerja dan membantu korban bencana. Meski catatan Burhanuddin Muhtadi sepertinya menganggap pengorbanan saat ini akan sia-sia. Akan tetapi Burhanunddin bukanlah tuhan. Segalanya bisa berbeda dimasa Pemilu kedepan. Bisa saja, bakti anda saat ini, akan abadi di dada para korban bencana, mereka tetap kenang dan nanti dibalas saat mereka berada di bilik suara tahun 2029. Wallahua’lam. (**)















