Majid menambahkan, deflasi yang lebih dalam tertahan oleh inflasi pada kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya yang mencatat kenaikan 0,28% (mtm) dengan andil 0,02%. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh pergerakan harga emas perhiasan yang naik 1,08% (mtm), mengikuti dinamika harga emas global.
“Selain itu, kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga serta kelompok transportasi turut mencatat inflasi, masing-masing memberikan andil 0,02%. Inflasi pada kelompok perumahan didorong kenaikan harga sewa rumah, sementara kelompok transportasi dipengaruhi oleh meningkatnya harga mobil,” ujarnya.
Secara spasial, ungkap Majid, seluruh kabupaten/kota IHK di Sumbar mengalami deflasi. Kabupaten Pasaman Barat mengalami deflasi terdalam sebesar -0,81% (mtm), disusul Dharmasraya -0,49% (mtm), Kota Bukittinggi -0,46% (mtm), dan Kota Padang -0,02% (mtm). Deflasi Kota Padang relatif terbatas karena masyarakat lebih banyak mengonsumsi cabai Jawa, yang justru mengalami kenaikan harga pada bulan laporan.
“Secara kumulatif, inflasi Sumbar hingga November 2025 mencapai 3,62% (ytd), melebihi batas atas sasaran 2,51%. Oleh karena itu, TPID Sumbar memperkuat strategi stabilisasi harga, termasuk optimalisasi kerja sama pasokan cabai merah, intensifikasi Gerakan Pangan Murah, peningkatan komunikasi kebijakan, penguatan pemantauan harga, serta intensifikasi rapat koordinasi antarinstansi,” tegasnya.
Menutur Majid, dengan sinergi kebijakan yang terus diperkuat, pihaknya optimis bahwa berbagai program pengendalian inflasi pangan dapat berjalan efektif. “Komitmen stabilisasi harga menjadi prioritas agar inflasi tetap terkendali dalam rentang sasaran 2,51% (yoy) sepanjang 2025,” tutupnya. (rgr)
















