Pada citra 27 Juli 2025 saja terlihat puluhan titik penebangan aktif lengkap dengan tumpukan kayu siap angkut yang tersebar sepanjang punggungan hulu DAS Aia Dingin.
“Perubahan ini mustahil terjadi secara alami. Citra Maxar membuktikan jejak kerusakan yang konsisten empat tahun berturut-turut,” tegas Tommy.
Menurut WALHI, jalan logging yang terbuka di kawasan hulu menjadi lintasan cepat air saat hujan ekstrem. Akibatnya, kayu hasil tebangan terseret arus dan menumpuk di wilayah permukiman hingga ke bibir pantai.
Pola keterhubungan spasial antara titik penebangan, jalur aliran sungai, dan lokasi penemuan kayu pasca banjir semakin memperkuat dugaan bahwa kayu-kayu tersebut bukan berasal dari pohon tumbang alami.
“Citra satelit independen tidak bisa dimanipulasi. Jejak before–after jelas menunjukkan sumber masalah ada di hulu,” tambah Tommy.
Berdasarkan temuan tersebut, WALHI Sumbar mendesak pemerintah, Mengakui kesalahan kepada masyarakat terdampak bencana ekologis. Menghentikan kebijakan yang membuka ruang perusakan lingkungan. Melakukan investigasi hukum terhadap seluruh titik penebangan di kawasan hutan, khususnya Suaka Margasatwa Bukit Barisan dan Hutan Lindung. Mengungkap aktor pembalakan beserta pihak yang diduga terlibat.
WALHI menegaskan bahwa bencana ekologis yang melanda Padang bukan peristiwa alam semata, melainkan konsekuensi dari rusaknya kawasan hulu dan lemahnya tata kelola sumber daya alam di Sumatera Barat. (rom)
















