Menurut hemat saya, jika ingin gelar itu tetap terpatri dalam jiwa raga seorang guru, maka tidak bisa tidak, frekwensi penyebutan harus terus didengungkan. Doktrinasi harus terus ditanamkan, baik diforum resmi maupun tak resmi. Mudah-mudahan muncul kesadaran pribadi dan kolektif seorang guru akan status mulia yang disandang. Agar nilai kepahlawanan tetap lekat dan tak lenyap didada mereka.
Lalu, bagaimana kita memotret berbagai kasus viral yang melibatkan guru belakangan ini? Bagaimana kita menempatkan kembali kemuliaan profesi guru. Kemuliaan yang kita sepakati bersama, kemuliaan yang kita berikan kepada mereka secara sadar dan sukarela saat menyekolahkan anak-anak kita.
Pada dasarnya kita prihatin dengan adanya kasus “kriminalisasi” terhadap Guru-guru tersebut. Sebut saja kasus dua orang guru di Luwu Utara yang sempat ditahan gegara “kreatif” mencarikan tambahan penghasilan buat guru honorer mereka. Atau kasus Ibu kepala sekolah di Banten yang sempat dipecat dari jabatannya karena mendisiplinkan siswa yang kedapatan merokok dilingkungan sekolah.
Meski kedua kasus itu berakhir manis dari sisi profesi guru, akan tetapi ia meninggalkan pertanyaan besar, bagaimana sesungguhnya kita mendefinisikan kemuliaan profesi guru itu? Bagaimana kita mendefinisikan relasi yang ideal antara guru dengan siswa? Bagaimana kita mendefenisikan relasi yang ideal antara guru dengan orang tua siswa dalam satu tujuan yaitu mendidik dan mencerdaskan anak-anak kita?
Menjawabnya tentu tak sederhana, bahkan tak bisa dengan cara menarik garis lurus yang memisahkan utara dengan selatan atau barat dengan timur. Dalam banyak kasus, dia harus dipilah dan dibedah dengan pisau analisa yang berbeda, diteropong dari sudut pandang yang berbeda pula. Banyak sisi harus diteropong, dan tak kalah penting adalah pemahaman bahwa belum tentu yang kita anggap betul itu juga betul disudut pandang orang lain.
Ibarat cerita klasik ketika sejumlah orang buta disuruh mendefenisikan gajah dengan cara menyentuh bagian tubuh gajah tersebut. Masing-masing menceritakan sesuai dengan bagian yang tersentuh. Setiap narasi berbeda, karena memang beda bagian yang disentuh, akan tetapi hakikatnya ada semua dalam tubuh gajah itu sendiri. Maka kesadaran bahwa kebenaran mutlak itu tak bisa kita defenisikan sendiri, dan ia perlu didudukkan bersama perlu kita insafi bersama. Kemudian disikapi dengan menyertakan kebijaksanaan dan kearifan dalam menyelesaikan setiap masalah yang ada.
Oleh karena itu, biarlah kebenaran menemukan caranya sendiri dalam menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan guru dewasa ini. Yang jelas, profesi guru tetaplah profesi yang mulia. Kita rasanya tak mungkin menjadi sesiapa tanpa sentuhan tangan guru-guru kita.
Akhirnya, menutup tulisan ini, izinkan kami mengingatkan kembali pesan dan warisan mulia Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa yang kemudian menjadi semboyan pendidikan nasional. Pertama, Ing Ngarso Sung Tulodo, Saat didepan jadilah teladan, jadilah contoh yang baik bagi anak didiknya. Kedua, Ing Madyo Mangun Karso, saat ditengah anak didik dan masyarakat berilah semangat dan motivasi. Dan Ketiga, Tut Wuri Handayani, ketika dibelakang beri dukungan, beri kepercayaan agar anak didik mandiri. Selamat Hari Guru Nasional ke-80. Terima kasih atas jasa-jasanya dan tetaplah menjadi Mulia. (**)
















