PADANG, METRO – Kekerasan pada perempuan seakan tidak pernah ada habisnya. Dari tahun ke tahun, jumlahnya membentuk siklus yang sulit diputus. Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK RI), selama 2018 ada 406.175 kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Di Sumbar sendiri, jumlahnya 800 kasus kekerasan perempuan dan anak.
“Tahun 2018 ada 406.178 kasus kekerasan perempuan di Indonesia. Rata-rata satu hari ada 1.112 kasus, sedangkan setiap jam terjadi sekitar 46 kasus. Sementara di Sumbar ada 800 kasus, dari angka tersebut 587 korban kekerasan perempuan atau sekitar 75,4 persen,” kata Plt Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kemenko PMK RI, Ghafur Akbar Dharma Putra saat kegiatan Rapat Koordinasi Penguatan Sistem Penanganan Kekerasa Terhadap Perempuan di Hotel Inna Muara, Senin (29/4).
Kian tingginya angka kekerasan perempuan dan anak, menurut Ghafur, dengan meminta maaf bukanlah solusi yang tepat. Karena, permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat merusak masa depan manusia. Sehingga perlu adanya penguatan sistem perlindungan anak, bukan hanya penanganan tapi juga dari pencegahan.
“Isu maaf memaafkan bukanlah solusi, dengan langkah pencegahan dalam sistem perlindungan anak adalah yang paling penting selain penanganan para korban anak. Namun hal ini harus berjalan dengan berbagai lembaga untuk melakukan pencegahan perempuan dan anak jadi korban kekerasan,” ujar Ghafur.
Selain itu, Ghafur menilai, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) merupakan bagian dari upaya mengubah paradigma supaya masyarakat tidak lagi melakukan kekerasan seksual. Dia menyebut, pembahasan RUU ini sudah dilakukan secara intensif antara pemerintah dan DPR selama beberapa tahun dan akan dimaksimalkan pasca pemilu ini.
“Semua penegakan hukum baik itu kekerasan di rumah tangga, pelaku itu harus mendapatkan hukumannya jadi mereka jera. Tetapi kita ingin pelaku-pelaku kekerasan itu bertanggungjawab, selain harus dihukum mereka juga diharuskan membayar restitusi kepada korban. Sehingga korban memiliki masa depan yang lebih baik,” tutur Ghafur.
Di sisi lain, kekerasan terhadap perempuan dan anak disebabkan banyak faktor, Ghafur menyebut, salah satunya karena pernikahan dini. Alasannya, dalam pernikahan usia dini dipastikan tingkat kematangan wanita sebagai seorang ibu masih rendah, dan merampas hak mereka di dunia pendidikan. Maka proses berjalannya waktu berumah tangga akan mengarah kepada kekerasan.
“Pernikahan dini mengakibatkan anak-anak terlahir stunting. Karena itu pemerintah menetapkan aturan sekolah harus 12 tahun, sebab dari 10 perempuan yang mengalami kekerasan paling banyak terjadi di perkotaan bukan di pedesaan,” ucap Ghafur.
Hasil kajian Kemenko PMK RI, lanjut Ghafur, terdapat 15 jenis bentuk kekerasan seksual yakni, perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdangangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, dan perbudakan seksual.
Selanjutnya, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan stelisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol seksual termasuk lewat aturan disktiminatif beralasanmoralitas dan agama.
“Selain kekerasan terhadap perempuan dan anak, perempuan juga rentan terhadap perdagangan perempuan. Seperti contoh, perempuan diajak untuk keluar negeri, lalu diperdagangan untuk sebagai pelacuran. Mereka dipaksa bekerja 24 jam, dan tidak diperbolehkan pegang hp,” beber Ghafur.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2A), Besri Hidayat. Dia mengungkapkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi sejak tahun 2018 adalah sebanyak 800 kasus, dan 587 diantaranya terjadi pada perempuan. Sementara, jumlah kekerasan perempuan dan anak pada tahun 2019 yaitu, sebanyak 100 kasus.
“Pada bulan ketiga tahun 2019 ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah mencapai 100 kasus, dan hampir semuanya sudah kami tindaklanjuti. Cuma ada yang kerja sama dengan kabupaten/kota, kalau terjadi trauma akan kita kirimkan trauma healing,” ujar Besri.
Saat ini sebut Besri, P2A Sumbar telah meluncurkan program Telepon Sahabat Anak (TeSA) guna mewujudkan daerah yang laik bagi anak. TeSA merupakan bentuk layanan perlindungan anak melalui layanan pemberian informasi, konsultasi dan konseling. Layanan ini dapat diakses melalui nomor operator 129, dan aktif selama 24 jam.
“TeSA ini merupakan media cell untuk melaporkan tindakan kekerasan yang terjadi terhadap anak atau media konsultasi anak. Sehingga lebih terbuka kasus-kasus kekerasan di Sumbar, atau memberikan rujukan terhadap anak korban kekerasan maka fungsi psikologinya kembali normal,” kata Besri.
Selain program TeSA, ungkap Besri, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) juga merupakan lembaga pelayanan yang berperan alam penanganan masalah-masalah kekerasan perempuan dan anak. Selain pelayanan bagi perempuan dan anak korban, kekerasan melalui layanan pelaporan, P2TP2A juga menjadi layanan pendampingan berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak.
“Jadi yang menjadi tanggungjawab kita adalah anak-anak yang berusia 18 ke bawah dan perempuan di rumah tangga, dan sebagainya. Melalui P2TP2A, kita ingin tindakan kekerasan yang dialami perempuan dan anak dapat menurun,” harap Besri.
Sementara itu, Kasubdit Advokasi Peraturan Desa, Eppy Lugiarti mengatakan, salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah akibat permasalahan kemiskinan dan pendidikan. Untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan anak, pemerintah berupaya mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan pendidikan.
“Pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, bantuan keuangan APBD provinsi, kabupaten/kota, hibah dan sumbangan pihak ketiga serta pendapatan lain-lain yang sah. Dana desa diproiritaskan untuk pemberdayaan masyarakat,” ujar Eppy.
Presiden Joko Widodo pada 2015 mulai menggelontorja dana desa yang hingga tahun 2019 telag mencapai sebesar Rp257 triliun. Dana desa, menurut Eppy, sangat bermanfaat juga untuk mengurangi tindak kekerasan perempuan dan anak di tingkat desa atau nagari.
“Mengurangi kekerasan perempuan dan anak perlu didampingi dengan mengelontor dana desa. Sejauh mana desa mempunyai kewenangan terhadap pemberdayaan perempuan dan anak. Secara teknis Rp4 triliun dana desa diprioritaskan untuk pemberdayaan perempuan,” ungkap Eppy. (mil)