Ke-empat, mengawal agar atlet Sumbar tidak lagi eksodus karena tidak diperhatikan kebutuhan dasarnya.
Dari rangkaian peristiwa yang terjadi, sangat panjang deretan nama-nama atlet Sumbar yang pindah ke daerah lain karena tidak ada perhatian serius untuk masa depan mereka. Biasanya hal ini terjadi jelang atau sesudah PON.
Masih segar dalam ingatan, ditahun 1980-an, Nurhayati bersaudara pindah ke Yogjakarta. Jelang PON 1993, sejumlah lifter Sumatera Barat pindah ke Jawa Tengah, padahal di PON sebelumnya, mereka mendulang emas dalam jumlah besar untuk Sumbar.
Pasca-PON di Riau, Yosita Hapsari pindah ke Jawa Timur. Mela Eka Rahayu pindah ke DKI Jakarta untuk angkat berat.
Jelang PON di Aceh – Sumut lebih banyak. Peboling langganan emas Sumbar, pindah ke Aceh. Pesilat Suci Wulandari pilih bela DKI Jakarta. Menyumbangkan medali perak. Fauma Depril Jumra, dari Dasa Lomba, mempersembahkan emas untuk Aceh. Wahyudi mempersembahkan dua emas untuk DKI Jakarta. Ia juga memecah rekor PON di nomor 1500 meter putra. Aprilia Kartika, menyumbang satu emas dan sekeping medali perak.
Kelima, mengikat atlet berprestasi dengan jaminan pekerjaan adalah sebuah keharusan. Jangan mereka dibutuhkan saat berprestasi diusia emasnya saja, setelah itu kehidupan mereka diabaikan.
Sangat banyak atlet berprestasi yang menderita diusia lanjut. Hal ini disebabkan, selama ini mereka hanya fokus berprestasi, sehingga terlupakan masa depanya, setelah tak lagi berprestasi, KONI dan pemerintah daerah tidak pula peduli.
Galatama Semen Padang, diera 1980-an hingga 1990-an, bisa dijadikan contoh nyata. Ketika itu tak ada istilah kontrak permusim seperti sekarang, tetapi pemain diikat dengan jaminan pekerjaan. Tugasnya berlatih, main bola dan bertanding.
Tak mengherankan, banyak diantaranya yang membela Semen Padang FC sejak awal main sampai pensiun. Ada yang main 10 hingga 15 tahun, kemudian menjadi pelatih di SPFC. Setelah tak sanggup lagi, baru masuk ke perusahaan sampai usia pensiun. Banyak juga diantara mereka yang mendapat kepercayaan menempati sejumlah jabatan.
Ada pula diantara mereka yang pernah dipinjamkan ke PSP Padang, saat Pandeka Minang, terseok-seok di Divisi I (setera Liga 2 saat ini). PSP Padang terdepak dari Divisi Utama Perserikatan (setara Super League, atau Liga 1 sekarang), tahun 1986, kemudian sejumlah pemain galatama Semen Padang dipinjamkan untuk mengembalikan PSP ke Divisi Utama, tahun 1995.
Hal logis dalam kehidupan seorang atlet, jika mereka sudah memiliki pekerjaan tetap, maka akan fokus dalam berlatih atau melatih, sehingga bisa mempersiapkan regenerasinya. Tidak seperti nan teralah, berlatih berlatih saja, bertanding, lalu dapat emas untuk Sumbar, dipuji sebentar, menunggu pencairan bonus seperti menunggu laki pulang maliang pula, setelah itu mereka mengakeh lagi untuk hidupnya bersama keluarga.
Kalau KONI Sumbar sekarang tak bisa berbuat lebih, tidak mampu melakukan reformasi dalam mengawal dan memperlakukan atlet berprestasi, berarti tak ada langkah maju. Sama saja dengan periode-periode yang telah berlalu, hanya sekadar menjalankan rutinitas sebagai pemegang otoritas keolahragaan di daerah. Disitulah kegagalannya!
Rasanya tidak perlu pula ditunjukajari, dimana atlet berprestasi tersebut dipekerjakan, bukankah kepengurusan sekarang sudah sejalan dengan pemerintah daerah? Tidak seperti kepengurusan terakhir, yang sudah menjadi rahasia umum dan bagalanggang di mato rang rami.
Selama ini, terkesan sangat sulit mengangkat atlet berprestasi menjadi ASN, pegawai BUMD atau BUMN di Sumbar, sementara di daerah lain mudah saja. Apakah karena regulasi? Kalau karena regulasi, tentu daerah lain tak bisa pula. Atau mungkin karena pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan KONI tak peduli?
Ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi KONI dan pemerintah. Ditunggu lakek tangannya!, hanya itu yang ditunggu atlet dan pecinta olahraga di Sumatera Barat.*
