Di semifinal, ia menumbangkan Husni Hairil, peraih emas PON sebelumnya. Laga final berlangsung ketat melawan atlet Kalimantan Timur, Abdillah Muhammad Devlin, dengan skor 6–6. Namun, kartu kuning untuk lawan membuat kemenangan jatuh ke tangan Yusril. Ia berhasil mempersembahkan emas pertama untuk Sumatera Barat di cabang sambo.
Medali itu bukan sekadar simbol prestasi, melainkan buah dari perjuangan panjang seorang anak kampung. Setiap tetes keringat, setiap kayu yang dipotong, dan setiap kulit kelapa yang dikupas menjadi bagian dari jalan menuju panggung kehormatan itu.
“Kalau saya bisa bantu keluarga dan tetap latihan, itu sudah cukup. Emas ini bukan hanya buat saya, tapi buat mereka juga,” katanya pelan.
Kini Yusril masih tetap sederhana. Dia akan tetap membantu keluarga, dan menabung untuk masa depan adik-adiknya serta ayah tirinya.
Ia bermimpi suatu hari nanti bisa membuka tempat latihan bagi anak-anak kampungnya agar mereka juga punya jalan keluar melalui olahraga.
“Mimpi itu gratis,” ucapnya, “Tapi perjuangan mahal. Saya sudah bayar dengan keringat.”
Di matras, Yusril adalah petarung. Di rumah, ia adalah tulang punggung. Dan di hati banyak orang, ia adalah bukti bahwa emas bisa lahir dari tangan yang terbiasa bekerja keras—dari kampung, dari kayu, dari kelapa, dan dari niat yang tak pernah padam. (rom)
















