Krisis ini memicu inovasi dalam teori hukum, melahirkan konsep baru seperti Identification Theory, Vicarious Liability, dan Strict Liability (Nani Mulyati, 2018). Ketiganya menandai pergeseran cara pandang bahwa korporasi juga bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, baik melalui tindakan direksi, karyawan, maupun kebijakan internal perusahaan. Namun, dalam praktik di Indonesia, masih sering terjadi ketegangan antara das sollen dan das sein (Ismansyah, 2015). Secara ideal hukum pidana harus menegakkan keadilan substantif, termasuk korporasi pelaku korupsi. Realitanya hukum sering tunduk pada kepentingan ekonomi dan politik, misalnya Pasal 4B UU BUMN memberi perlindungan bagi direksi yang bertindak dengan itikad baik meski merugikan negara. Ketentuan ini berbenturan dengan doktrin strict liability dalam UU Tipikor yang menegaskan bahwa pembuktian niat jahat tidak diperlukan untuk menjerat pelaku korupsi.
Pertentangan tersebut menunjukkan adanya legal gap idealisme hukum dan praktiknya (Achmad Ali, 2015) fenomena ini sebagai bentuk jurang epistemik, di mana hukum kehilangan daya moral karena terjebak kepentingan pragmatis. Akibatnya korporasi sering lolos dari jerat hukum, ketimpangan ini menandakan adanya legal gap dalam kebijakan pertanggungjawaban korporasi pada tipikor.
Dari sudut pandang filsafat ilmu kebijakan formulasi hukum pidana terhadap korporasi harus memperhatikan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi membahas hakikat korporasi sebagai subjek hukum; epistemologi menyangkut cara memperoleh dan membuktikan pengetahuan hukum tentang kesalahan korporasi; sedangkan aksiologi berkaitan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan sosial. Hukum yang ideal harus menyeimbangkan ketiganya tidak hanya menegakkan norma, tetapi juga menjamin keadilan dan kemanfaatan publik.
Reformasi hukum pidana korporasi seharusnya berfokus pada penyelarasan antara teori dan kenyataan sosial. Hukum tidak cukup hanya patuh pada teks undang-undang, tetapi juga harus berpihak pada keadilan. Dalam konteks korupsi korporasi, hal ini berarti memastikan agar hukum mampu menjerat pelaku yang bersembunyi di balik entitas perusahaan, tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam manajemen.
Pada akhirnya pembaruan kebijakan formulasi perbuatan materil korporasi adalah perjalanan panjang ilmu hukum dari teori menuju praktik, dari norma menuju realitas. Seperti diingatkan Paul Scholten, hukum yang berhenti pada teks akan mati bersama teksnya sedangkan hukum yang hidup bersama masyarakat akan tumbuh bersama keadilan. Karena itu hukum harus menjadi jembatan antara idealisme dan kenyataan, antara ilmu dasar dan ilmu terapan, agar tidak hanya sah secara yuridis, tetapi juga benar secara moral dan adil secara sosial.(**)














