Kondisi ini jelas bertentangan dengan nilai dasar hukum pidana yang diajarkan Gustav Radbruch: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Kekosongan definisi perbuatan materil korporasi meniadakan kepastian hukum. Benturan dengan UU BUMN menegasikan keadilan, karena memberikan perlakuan berbeda antara individu dan korporasi. Dan akhirnya, tujuan kemanfaatan hukum tidak tercapai, sebab masyarakat tetap menjadi korban dari kerugian negara yang dibiarkan.
Dalam kerangka filsafat ilmu, problem ini bisa dilihat dari tiga sisi. Ontologisnya, hakikat korporasi sebagai subjek hukum pidana masih dipandang kabur. Apakah korporasi sekadar wadah, ataukah ia entitas dengan kehendak yang nyata? Epistemologisnya, aparat penegak hukum tidak memiliki scientific knowledge yang memadai untuk membuktikan keterlibatan korporasi tanpa formulasi jelas tentang perbuatan materil. Aksiologisnya, keberadaan dua lex specialis yang saling bertentangan justru merusak nilai keadilan dan kepastian hukum yang semestinya dijunjung tinggi.
Oleh karena itu, diperlukan keberanian untuk melakukan harmonisasi hukum. Doktrin hukum pidana modern mengajarkan pendekatan lex specialis systematisch: menafsirkan norma tidak sekadar secara gramatikal, tetapi berdasarkan fungsi dan tujuan serta konteks sistem hukum pidana. Dalam hal ini, UU PTPK seharusnya diposisikan sebagai lex specialis yang lebih spesifik dan fundamental, sebab menyangkut perlindungan keuangan negara dan kepentingan publik yang luas. UU BUMN tidak boleh dijadikan tameng untuk menghindari pertanggungjawaban pidana korporasi, melainkan hanya sebagai norma pengelolaan internal yang tidak boleh melampaui hukum pidana khusus anti korupsi.
Lebih jauh pembentuk undang-undang harus segera memperbaiki formulasi perbuatan materil korporasi dalam delik korupsi. Perlu ditegaskan, misalnya, bahwa setiap keputusan, kebijakan, atau transaksi yang secara nyata memperkaya korporasi melalui perbuatan melawan hukum pengurusnya, harus dianggap sebagai perbuatan materil korporasi. Dengan demikian, korporasi tidak bisa lagi berlindung di balik iktikad baik semu atau kesalahan individu semata.
Korupsi adalah musuh bersama yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Membiarkan kekosongan hukum dan benturan lex specialis berarti menggadaikan masa depan bangsa kepada korporasi rakus yang hanya peduli pada keuntungan. Pertanyaan provokatifnya: apakah kita rela hukum pidana dijadikan alat kompromi politik ekonomi, ataukah kita berani menjadikannya instrumen tegas melawan kejahatan korporasi? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan arah masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. (***)















