Namun, hasil produksi CPO, kernel, dan cangkang saat ini masih harus dikirim ke Pelabuhan Teluk Bayur di Padang dengan jarak ±193 kilometer yang ditempuh selama enam jam. Hal ini dinilai tidak efisien dan menimbulkan biaya tinggi serta dampak kerusakan jalan.
“Berangkat dari kondisi tersebut, sejak 2005 pemerintah daerah bersama pemerintah provinsi dan Kementerian Perhubungan melakukan berbagai kajian, mulai dari studi kelayakan, master plan, DED, hingga AMDAL pelabuhan. Pembangunan dermaga telah dimulai sejak 2008, dan berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan, Pelabuhan Teluk Tapang ditetapkan sebagai pelabuhan pengumpan regional pada 2013, kemudian naik status menjadi pelabuhan pengumpul pada 2017,” ungkap Yulianto.
Ia menambahkan, pembangunan akses jalan sepanjang 43,2 km menuju pelabuhan juga terus dikebut. Saat ini hanya tersisa sekitar 5–6 km yang perlu ditingkatkan, sementara pembangunan sejumlah jembatan telah dilakukan dengan anggaran sekitar Rp28,6 miliar.
Lebih lanjut, Yulianto mengungkapkan bahwa hingga kini total dana yang sudah digelontorkan untuk pembangunan Pelabuhan Teluk Tapang mencapai lebih dari Rp609 miliar dari APBD Kabupaten Pasaman Barat, APBD Provinsi Sumatra Barat, maupun APBN.
Namun, pembangunan fasilitas sisi darat pelabuhan masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan.
“Walaupun saat ini fasilitas darat Pelabuhan Teluk Tapang belum dibangun, aktivitas pelabuhan berupa penumpukan dan pengangkutan bijih besi sudah berjalan. Karena itu, kami sangat mengharapkan dukungan dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Perhubungan, agar pembangunan fasilitas sisi darat bisa mulai dilaksanakan pada 2026,” tegasnya.
Acara yang diinisiasi PPIT Kemenhub itu juga dihadiri perwakilan pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, pelaku usaha, serta masyarakat. Seluruh masukan yang dihimpun dari forum konsultasi publik akan dituangkan sebagai bahan penyempurnaan studi pendahuluan proyek KPBU. (end)
















