Dadan juga menyebut ada tambahan Rp 700 miliar untuk pemantauan dan pengawasan yang akan dilaksanakan BPOM. Selanjutnya, Rp 412,5 miliar akan dipakai untuk sistem dan tata kelola, termasuk pemanfaatan data status gizi yang dikelola Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Adapun kebutuhan untuk koordinasi penyediaan dan penyaluran, termasuk gaji akuntan, ahli gizi, serta pelatihan penjamah makanan di setiap SPPG, dialokasikan sebesar Rp 3,8 triliun.
Secara klasifikasi, 95,4 persen anggaran atau sekitar Rp 255,5 triliun difokuskan untuk program pemenuhan gizi nasional, sementara 4,6 persen atau Rp 12,4 triliun untuk program dukungan manajemen.
Jika dilihat berdasar fungsi, 83,4 persen anggaran dialokasikan ke fungsi pendidikan senilai Rp 223,5 triliun, 9,2 persen ke fungsi kesehatan Rp 24,7 triliun, dan 7,4 persen ke fungsi ekonomi Rp 19,7 triliun. Sementara dari sisi belanja, 97,7 persen merupakan belanja barang, 1,4 persen belanja pegawai, dan 0,9 persen belanja modal.
“Jika dikategorikan berbasis anggaran operasional dan non-operasional, maka 2,9 persen itu operasional, sementara 97,1 persen non-operasional,” pungkas Dadan. (jpg)
