“Siklus hidup magot dimulai dari telur yang menetas dalam waktu sekitar 4 hari, kemudian larva tumbuh selama 14-18 hari, lalu masuk tahap pupa selama 10-14 hari, dan akhirnya menjadi lalat dewasa yang hidup 5-8 hari untuk berkembang biak,” jelas Hendri.
Di pasar, harga magot per kilogram sekitar Rp 8.000. Namun, untuk saat ini magot yang dibudidayakan KPA Winalsa lebih banyak dimanfaatkan sendiri sebagai pakan ternak, sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap pakan pelet dan pur yang biasanya harus dibeli.
Magot atau larva lalat tentara hitam (Black Soldier Fly/BSF) terbukti efektif mengurai limbah organik dan mengubahnya menjadi produk bernilai tambah untuk pertanian dan peternakan. Selain manfaat teknis, kegiatan ini juga menjadi sarana edukasi bagi masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya pertanian berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya alam secara bertanggung jawab.
Pondok Belajar Pertanian WALHI Sumbar pun berperan sebagai pusat pembelajaran sekaligus praktik langsung dengan pendekatan kolaboratif antara organisasi lingkungan dan petani setempat. Selain budidaya magot, tempat ini juga mengembangkan sistem pertanian terpadu yang berbasis prinsip agroekologi.
“Tujuan utama kami adalah mewujudkan kedaulatan pangan. Kami ingin agar petani bukan hanya menjadi penerima manfaat pembangunan, tetapi juga pengelola aktif yang menjaga dan merawat tanahnya sendiri,” tutup Hendri. (Jef)




















