Kata “efisiensi” itu terdengar manis di bibir pejabat dan pengusaha, tapi getir di telinga buruh. Sebab di balik jargon itu, ada manusia yang diperlakukan seperti barang sewaan, habis kontrak, habis pula nasibnya. Outsourcing menjadi dalih legal untuk melanggengkan ketidakpastian. Buruh tidak lagi punya masa depan yang jelas, hanya kontrak demi kontrak, seperti roda yang terus berputar tanpa pernah berhenti di satu tempat.
Sementara itu, “stabilitas investasi” dijadikan mantra sakral untuk membungkam perlawanan. Serikat buruh yang kritis dipersekusi, di diskreditkan, bahkan dipecah belah. Pemerintah selalu berdalih bahwa aksi buruh bisa mengganggu iklim usaha, padahal yang sebenarnya mengganggu adalah kerakusan modal yang tak pernah puas. Buruh dipaksa diam demi menjaga citra negara ramah investasi, padahal yang dipertaruhkan adalah harkat manusia yang semakin direduksi menjadi angka-angka efisiensi.
Kontrasnya begitu telanjang: pejabat dengan setelan rapi berpose di depan kamera bersama investor asing, memamerkan proyek besar dengan bangga. Di sisi lain, buruh yang membangun proyek itu harus rela menjadi kuli abadi, tanpa kepastian kerja, tanpa jaminan masa depan. Inilah ironi pembangunan di negeri ini, senyum pejabat di panggung internasional dibayar dengan keringat dan air mata pekerja yang terus dihisap tanpa henti.
OTT itu memang pandai memainkan ilusi. Ia menciptakan drama tunggal yang gampang dikonsumsi publik: ada tersangka, ada borgol, ada kamera. Semua serba spektakuler, persis konser yang sudah diatur sedemikian rupa. Tapi publik jarang diberi kesempatan melihat siapa yang mengatur panggung, siapa yang mengatur musik di belakang layar. Mafia industri tetap nyaman, karena mereka tahu, sorot lampu tak akan pernah sampai ke tempat mereka berdiri.
Dan disitulah jebakan paling berbahaya, publik dipuaskan dengan tontonan simbolik, sehingga lupa bahwa keadilan sejati tak pernah hadir. Satu orang jadi kambing hitam, lalu masyarakat diajak percaya bahwa sistem sedang bekerja. Padahal, sistem itulah yang sudah lama dijual ke tangan pemodal, membiarkan ratusan pelaku kejahatan struktural bersembunyi di balik kata “investasi” dan “pembangunan”. OTT hanya memotong cabang, sementara akar korupsi tetap tumbuh subur.
Maka, jangan heran jika rakyat akhirnya terjebak dalam sinisme yang semakin pekat. Mereka tahu, setiap borgol yang dipamerkan di televisi tak pernah benar-benar meruntuhkan kerajaan mafia industri. Yang berubah hanyalah wajah, bukan watak. Pergantian wayang dalam kotak yang sama, tanpa pernah mengganti kotaknya. Selama itu berlangsung, buruh tetap ditindas, rakyat tetap ditontonkan sandiwara, dan negeri ini terus berdiri di atas panggung tipuan.
Korupsi dan penindasan buruh memang tak bisa dipisahkan, keduanya saling menghidupi. Korupsi memberi ruang bagi regulasi pesanan yang lahir demi kepentingan modal, sementara penindasan buruh memastikan roda keuntungan terus berputar. Inilah simbiosis gelap antara pejabat, pengusaha, dan mafia industri. Maka jangan heran jika setiap pasal dalam undang-undang ketenagakerjaan lebih sering terasa sebagai jebakan bagi buruh, bukan sebagai pelindung.
Selama pasal-pasal itu bisa dibeli, selama pejabat bisa disewa, buruh akan tetap menjadi sapi perah yang dipaksa menghidupi sistem busuk. Mereka bekerja siang-malam, menghasilkan keuntungan miliaran, tapi pulang hanya membawa sisa remah yang bahkan tak cukup untuk hidup layak. Dan ketika buruh mencoba bersuara, mereka langsung dicap pengganggu stabilitas. Sistem ini bukan hanya eksploitatif, tapi juga represif, menekan, membungkam, dan merampas hak dasar manusia.
Karena itu, OTT tak akan pernah cukup. Ia hanya potret kosmetik, sekadar drama untuk menenangkan amarah publik. Revolusi tak akan lahir dari kamera televisi atau sorot lampu KPK, melainkan dari kesadaran kolektif buruh bahwa mereka sedang ditindas dalam sistem yang terorganisir. Hanya ketika buruh berani melawan dan menolak peran sebagai sapi perah barulah ada harapan perubahan. Tanpa itu, negeri ini akan terus menjadi panggung sandiwara, tempat rakyat jadi penonton setia dalam sirkus keadilan palsu.
Kalau negeri ini sungguh mau bersih, maka keberanian itu harus diarahkan ke akar, bukan sekadar cabang. OTT tak akan berarti apa-apa bila hanya jadi atraksi musiman untuk memuaskan kamera. Mafia industri yang merampas keringat buruh harus dihadapkan ke meja hijau, bukan malah dilindungi dengan pasal pesanan. Tanpa keberanian menyentuh para “paus rakus” itu, keadilan hanya akan jadi jargon kosong.
Persoalannya, berani atau tidak? Sebab menyentuh mafia industri berarti berhadapan dengan kekuatan yang mengendalikan aliran modal, politik, bahkan hukum itu sendiri. Mereka punya tentakel di parlemen, punya cengkeraman di birokrasi, dan punya jejaring di ruang-ruang kekuasaan. Itulah kenapa negeri ini lebih senang memamerkan ikan-ikan kecil dalam jaring, ketimbang benar-benar menguras kolam yang sudah lama keruh.
Rakyat tentu tak lagi bisa ditipu dengan sirkus ini. Buruh tahu persis siapa yang menindas mereka, siapa yang memperdagangkan aturan, siapa yang minum keringat dari kerja paksa terselubung. Maka tuntutan paling mendasar itu sederhana: hentikan ilusi, bongkar akar, hancurkan jaringan mafia industri. Tanpa itu, negeri ini hanya akan terus berenang dalam lautan uang kotor, sementara buruh tetap tenggelam di dasar penderitaan. (**)









