Namun demikian, kata Khairuddin, urbanisasi, alih fungsi lahan, dan tekanan pasar tanah telah menciptakan tantangan terhadap eksistensi tanah ulayat. Hal ini bahkan memicu berbagai konflik agraria, baik secara internal maupun dengan pihak luar. “Dalam konteks ini, kebijakan Kementerian ATR/BPN untuk mendorong penerbitan sertifikat tanah ulayat perlu dipertimbangkan secara kritis dan konstruktif. Sertifikasi ini bukan untuk mengindividualkan kepemilikan tanah, melainkan sebagai pengakuan hukum atas hak komunal masyarakat adat,” jelasnya.
Staf Khusus Menteri ATR/BPN Rezka Oktoberia menambahkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menyosialisasikan proses, aturan, dan manfaat dari administrasi pendaftaran tanah ulayat. Ia menekankan pentingnya sinergi semua pihak dalam mendukung proses tersebut.
“Tanah ulayat tidak bisa diperjualbelikan. Ada undang-undang yang mengatur hak-hak adat agar tetap berjalan. Sertifikasi bukan untuk mengambil alih, melainkan sebagai bentuk pengakuan negara atas tanah adat,” katanya.
Rezka juga memastikan bahwa tidak ada niat dari negara untuk menguasai tanah ulayat ataupun memberikan ruang kepada investor dengan mengesampingkan hak masyarakat adat. “Untuk itu, penting bagi kita semua memahami tujuan ini agar tidak terjadi kesalahpahaman di tengah masyarakat,” pungkasnya. (end)
















