Namun, besarnya ruang penurunan sangat bergantung pada struktur biaya masing-masing bank, terutama terkait biaya dana (Cost of Fund/CoF). “Bank perlu mengelola strategi pendanaan mereka. Khususnya dengan meningkatkan porsi dana murah, untuk menciptakan ruang penurunan bunga kredit yang lebih signifikan,” terang mantan kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu.
Ketika suku bunga acuan tinggi, sulit bagi bank untuk menurunkan bunga simpanan tanpa mengorbankan likuiditas. Sebab, akan berdampak terhadap net interest margin (NIM). Terutama bagi bank yang masih bergantung pada dana mahal.
Selain itu, bank masih membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Terutama untuk menghadapi potensi kenaikan risiko kredit yang mungkin muncul akibat gejolak perekonomian. Sehingga mengakibatkan peningkatan risk premium.
“Oleh karena itu, penurunan suku bunga kredit harus tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan kondisi keuangan masing-masing bank, bukan pendekatan homogen,” tandas Dian.
Sementara itu, Presiden Direktur Maybank Indonesia Steffano Ridwan tetap fokus memperkuat portofolio kredit pada segmen-segmen utama. Yakni, usaha kecil menengah (UKM), korporasi lokal skala besar, dan ritel. Kredit segmen ritel dan non-ritel community financial services (CFS) tumbuh 9,2 persen year-on-year (YoY) menjadi Rp 84,51 triliun.
Untuk kredit segmen non-ritel naik double digit sebesar 12,1 persen menjadi Rp 37,5 triliun. “Pada semester I 2025, Maybank Indonesia mencatat peningkatan pada pendapatan top line. Didorong oleh pertumbuhan kredit yang berkelanjutan pada segmen-segmen utama. Sehingga turut mendorong pendapatan bunga yang lebih tinggi dan yield terhadap saldo kredit,” jelasnya.
Bank menempuh upaya rebalancing terhadap portofolio kreditnya. Sehingga total kredit yang dicatat turun tipis 1,1 persen YoY menjadi Rp 121,69 triliun. Oleh karena kredit korporasi yang menurun meski telah diimbangi oleh kinerja positif dari kredit ritel dan non-ritel CFS. (jpg)
















