“Tapi, sejak awal, kami sudah daftarkan bangunan ini sebagai rumah doa, bukan gereja. Itu pun atas nama pribadi saya. Saat pengajuan meteran listrik pun, rumah itu diarahkan sebagai bangunan sosial,” tutur Dachi.
Dachi menyayangkan tindakan tersebut dan berharap ada perlindungan dari pemerintah terhadap kebebasan beribadah jemaatnya.
“Kalau tempat ini menjual miras atau narkoba, silakan dibubarkan. Tapi ini rumah doa untuk mendidik anak-anak. Kini mereka trauma. Bahkan, ada jemaat kami yang diintimidasi dan disuruh pergi,” katanya.
Ia menyebut akan menempuh jalur hukum jika tidak ada penyelesaian secara damai.
“Kami pertimbangkan melapor ke Polrestabes atau Polda. Kami hanya ingin anak-anak bisa belajar dan beribadah dengan aman,” ujarnya.
Kapolsek Koto Tangah, Kompol Afrino, mengatakan, terkait kasus pembubaran dna penyerangan aparat kepolisian masih melakukan pendalaman dan pengumpulan data di lokasi.
“Anggota sudah mendatangi lokasi setelah kita menerima laporan adanya kejadian itu. Di sana, anggota masih mengumpulkan keterangan dari saksi-saksi dan melakukan olah TKP,” tutur Kompol Afrino.
Dari sebuah video di lokasi terlihat bahwa sejumlah kursi hancur dan patah di luar ruangan tersebut. Selain itu, meja terbalik dan pagar rumah itu terbongkar. Empat kaca jendela luar kontrakan itu juga pecah.
Di dalam ruangan terdapat dua meja dan satu konstruksi kayu seperti mimbar, serta dua kipas angin. Di depannya ada belasan kursi plastik hijau. Di dekat konstruksi seperti mimbar itu tergeletak sebuah kursi plastik hijau dalam kondisi terbalik.
Di luar rumah itu terdapat puluhan warga dan ada sejumlah Polisi sedang berbicara dengan warga. Polisi telah memasang garis polisi di bagian luar rumah tersebut. (brm)












