“Saya sudah memprediksi bahwa tuntutan ini tidak akan jauh dari perkara tol jilid I. Tapi yang sangat berbeda adalah masyarakat dalam proyek tol jilid II ini tidak pernah memberikan alas hak kepada IKK, dan mereka juga tidak pernah menerima ganti rugi sejak 2009,” ujarnya kepada wartawan usai sidang.
Putri menjelaskan, kliennya yang saat itu menjabat sebagai ketua P2T telah menjalankan tugas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Salah satu tugas Syaiful sebagai Ketua P2T adalah menandatangani data validasi sebagai bagian dari proses pembebasan lahan.
“Kalau dia tidak menandatangani, dia dianggap tidak mendukung proyek strategis nasional. Bahkan, ketika ada kekurangan dokumen pada pembayaran pertama tanggal 29 Desember 2020, beliau langsung memberi instruksi untuk dihentikan. Artinya, ia menjalankan fungsi kontrol,” tegasnya.
Lebih lanjut, Putri mempertanyakan sikap Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang baru menyatakan bahwa lahan yang dibayarkan pada 5 Maret 2021 merupakan aset pemerintah daerah, dua minggu setelah pembayaran dilakukan. “Aneh sekali. Pada saat tanggal 5 itu, semua unsur hadir, termasuk mantan Bupati Suhatri Bur yang secara simbolis menyerahkan uang ganti kerugian (UGK). Tapi tidak ada satu pun yang menyatakan itu aset Pemda. Lalu tiba-tiba tanggal 18 Maret baru muncul pernyataan itu. Ke mana saja selama ini?” tanyanya.
Putri menegaskan akan terus memperjuangkan hak kliennya hingga proses hukum tertinggi. Ia pun akan berjuang dalam pledoi saya nanti. Apapun putusan pengadilan nanti, pihaknya siap lanjut sampai kasasi.
“Tanggung jawab keuangan negara berada di tangan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ke mana itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov), sebagai penetapan lokasi. Kemana itu, Pemkab yang mengaku sebagai aset tapi tidak pernah menampilkan. Mohon untuk keadilan dan mohon diusut kelanjutan,” tutupnya. (*)












