JAKARTA, METRO–Ketidakpastian ekonomi global dan tekanan fiskal yang meningkat mulai terasa dampaknya pada dunia usaha di Indonesia. Sejumlah indikator ekonomi utama menunjukkan sinyal perlambatan.
Indeks Keyakinan Bisnis Indonesia misalnya, turun tajam dari 12,46 menjadi 7,63 di kuartal pertama 2025. Aktivitas manufaktur juga belum pulih, dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) terus berada di zona kontraksi selama tiga bulan berturut-turut, terakhir tercatat di level 46,9.
Tak hanya itu, arus modal asing keluar mencapai Rp 28,6 triliun, sementara investasi asing langsung (FDI) merosot 12,5 persen secara tahunan.
Tekanan ini terasa nyata di lapangan. Banyak pelaku usaha dari sektor ritel, manufaktur, hingga startup memilih menahan ekspansi dan fokus pada efisiensi internal.
Dalam situasi yang menuntut gerak cepat, justru banyak perusahaan terbentur sistem internal yang lamban dan kurang terintegrasi. Biaya operasional tinggi, regulasi yang terus berubah, serta arus kas yang makin ketat membuat daya tahan finansial menjadi prioritas utama.
Di tengah situasi seperti ini, peran tim keuangan mengalami transformasi besar. Mereka tak lagi hanya bertugas mencatat transaksi, melainkan menjadi pusat kendali bisnis, menyediakan data yang presisi, memantau efisiensi, hingga menyajikan insight real-time yang menjadi dasar pengambilan keputusan strategis.
Sayangnya, masih banyak perusahaan yang berkutat dengan proses reimbursement manual, sistem keuangan yang terpisah-pisah antar divisi, hingga proses audit yang memakan waktu berminggu-minggu.
