Menurutnya, sumber dana bantuan korban berasal dari berbagai elemen, antara lain anggaran negara, donasi masyarakat, filantropi, CSR perusahaan, dan sumber sah lainnya yang tidak mengikat. Dana ini diberikan dalam bentuk uang sebagai kompensasi konkret atas kerugian yang dialami korban.
Ia menekankan, LPSK bertanggung jawab penuh atas penghimpunan dana, penghitungan kebutuhan korban, hingga distribusi yang akuntabel. Lembaga ini juga berkoordinasi dengan kementerian terkait keuangan negara guna menjamin seluruh proses berjalan sesuai regulasi fiskal.
“Dana bantuan akan digunakan pertama-tama untuk menutup kekurangan pembayaran restitusi sebagaimana ditetapkan dalam putusan pengadilan. Bila aset pelaku tidak mencukupi, maka dana bantuan akan menutupi kekurangannya, memastikan korban tetap menerima haknya secara utuh,” paparnya.
Selain kompensasi atas kekurangan restitusi, dana bantuan juga dapat digunakan untuk mendukung pemulihan korban. Bentuk pemulihan mencakup rehabilitasi fisik, psikologis, sosial, atau bentuk bantuan lainnya yang tidak termasuk dalam restitusi.
“Proses ini diawali dari permohonan korban atau kuasanya dan ditelaah oleh LPSK,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sri menegaskan bahwa PP 29/2025 menetapkan batas waktu pencairan yang ketat. Dana kompensasi wajib dicairkan paling lambat 30 hari setelah LPSK menerima salinan putusan pengadilan, sementara bantuan pemulihan harus diberikan dalam waktu maksimal 30 hari sejak keputusan LPSK ditetapkan.
“Dengan hadirnya PP ini, Indonesia mencatatkan tonggak penting dalam sistem keadilan berbasis pemulihan. Negara tidak lagi semata hadir sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelindung hak korban kekerasan seksual secara menyeluruh,” pungkasnya. (jpg)













