Dia juga menyampaikan bahwa situasi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap efektivitas akses keadilan, terutama bagi keluarga yang tidak memiliki pendampingan hukum secara langsung.
Dalam sidang pendahuluan di MK tersebut, Nanang menegaskan bahwa apabila Pasal 1 ayat (2) UU Advokat dimaknai secara eksklusif, maka ketentuan tersebut berpotensi menutup ruang bagi Sarjana Hukum untuk menjalankan peran terbatas dalam memberi bantuan hukum kepada keluarga sendiri, walaupun dilakukan dengan itikad baik dan tanpa imbalan.
Padahal, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004, Mahkamah telah menyatakan bahwa hak untuk memberi dan menerima bantuan hukum tidak boleh dihambat oleh formalitas administratif, selama tidak dilakukan secara profesional dan bersifat komersial.
Permohonan ini tidak bertujuan menyoal syarat menjadi advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Advokat, dan Pemohon menyatakan tetap menghormati profesi advokat sebagai officium nobile.
Namun demikian, Pemohon berharap agar Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir konstitusional progresif terhadap frasa “jasa hukum” dalam Pasal 1 ayat (2), agar membuka kemungkinan terbatas bagi Sarjana Hukum yang berkompeten untuk memberikan bantuan hukum secara insidentil dalam lingkup keluarga, secara cuma-cuma, dan tanpa merugikan prinsip kehormatan profesi advokat.
“Permohonan ini merupakan bentuk ikhtiar untuk memperluas akses terhadap keadilan, terutama dalam konteks keluarga dan wilayah dengan keterbatasan layanan hukum. Saya meyakini bahwa hukum semestinya adaptif terhadap kebutuhan riil masyarakat, termasuk dalam situasi darurat hukum yang dihadapi oleh warga negara,” tutupnya.(brm)















