“Ducati kini memiliki keunggulan teknologi yang jelas dibandingkan para kompetitornya. Sistem pengaturan katup desmodromik mereka unik dan tidak bisa ditiru,” ucap Witteveen.
Ia menjelaskan bahwa sistem ini memungkinkan penghematan tenaga, yang kemudian dapat dialokasikan untuk peningkatan performa mesin atau efisiensi bahan bakar.
“Desmosedici selalu punya keunggulan teknis. Mereka cepat di semua kondisi, di lintasan mana pun, dan di segala jenis aspal,” tambahnya.
Sebaliknya, ia menyoroti bahwa pabrikan lain seperti Aprilia masih belum konsisten dalam hal performa. Ducati dinilai selangkah lebih maju dalam membangun motor yang kompetitif secara menyeluruh.
“Kompetisi belum mencapai titik itu. Aprilia cepat di satu balapan, lalu berjuang di posisi kesepuluh di balapan berikutnya. Para pesaing Ducati masih punya banyak pekerjaan sebelum bisa menyamai stabilitas dan performa mereka,” ujar Witteveen.
Membandingkan kondisi MotoGP saat ini dengan masa awal 2000-an, Witteveen menjelaskan bahwa situasinya telah berubah drastis. Jika dulu dominasi berada di tangan pabrikan Jepang seperti Honda, Yamaha, Suzuki, dan Kawasaki, kini pabrikan Eropa seperti Ducati, Aprilia, dan KTM menjadi kekuatan utama.
“Dulu Jepang mengoordinasikan aturan teknis dan Honda menjadi juru bicaranya. Sekarang Yamaha yang menjadi penentu dari Jepang, namun tiga pabrikan Eropa tidak selalu sejalan seperti dulu Jepang,” jelasnya.
Lebih jauh, Witteveen menyebut transformasi signifikan pabrikan Jepang yang kini mulai merekrut insinyur dan mitra dari Eropa untuk mengejar ketertinggalan.
“Honda dan Yamaha sudah tertinggal dua atau tiga tahun dari tim Eropa. Sekarang mereka menggunakan bantuan insinyur Eropa untuk mengejar. Mereka tidak melakukannya sendiri,” tutupnya. (jpg)




















