Mempertahankan Islam Murni sebagai bagian dari identitas mereka. Islam Minangkabau, yang menyatukan antara ajaran agama dan adat, menjadi landasan penting dalam menghadapi modernisasi. Di satu sisi, mereka ingin melindungi nilai-nilai agama dari pengaruh luar yang dianggap bisa merusak tradisi mereka, namun di sisi lain, mereka juga berusaha menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman.
Fundamentalisme di Sumatera Barat tumbuh dari keinginan mempertahankan nilai-nilai Islam yang dianggap “murni” dan menolak segala bentuk inovasi atau perubahan yang dianggap menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Hadis. Kelompok fundamentalisme ini sering berakar pada gerakan purifikasi Islam yang diilhami oleh tokoh-tokoh reformis seperti Muhammad Abduh dan Rashid Ridha. Dalam konteks Sumatera Barat, fundamentalisme terwujud dalam gerakan seperti “Kaum Padri” pada abad ke-19 yang berupaya menghapuskan praktik adat yang dianggap bertentangan dengan syariat (Abdullah, 1988).
Pada era modern, fundamentalisme diwujudkan melalui gerakan dakwah yang menekankan ajaran Islam yang literal. Organisasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) menjadi wadah yang penting dalam mempertahankan nilai-nilai Islam melalui pendidikan, pengajaran, dan penertiban (Noer, 1994).
Radikalisme dalam masyarakat Sumatera Barat muncul sebagai ekspresi ketidakpuasan terhadap modernisasi yang dianggap membawa sekularisasi dan melemahkan identitas Islam. Radikalisme seringkali dihubungkan dengan gerakan-gerakan yang berorientasi pada perubahan struktural melalui aksi yang lebih konfrontatif. Di Sumatera Barat, radikalisme pernah muncul dalam bentuk pemberontakan “ PRRI/Permesta” pada 1950-an, di mana tokoh-tokoh Islam bergabung dengan gerakan tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan pusat yang dianggap tidak adil (Latif, 2011).
Radikalisme dalam konteks modern juga tercermin dari pengaruh ideologi transnasional seperti Salafisme dan Ikhwanul Muslimin. Kelompok-kelompok ini mencoba mempengaruhi pola pikir generasi muda melalui media social, pendidikan non-formal, dan forum diskusi keagamaan (Abdullah, 1988).
Ekstrimisme di Sumatera Barat merupakan bentuk paling keras dari resistensi terhadap modernisasi. Ekstrimisme berkembang dalam komunitas kecil yang cenderung menolak segala bentuk dialog dengan pihak lain. Kelompok ekstrimis ini sering menggunakan retorika “Islam Murni” untuk membenarkan tindakan intoleransi atau kekerasan (Noer, 1994)
Ekstrimisme di wilayah ini biasanya diperkuat oleh pengaruh global, seperti kelompok teroris internasional. Namun, ekstrimisme di Sumatera Barat tidak berkembang signifikan karena masih kuatnya pengaruh ulama tradisional dan organisasi Islam moderat yang mampu menangkal ideologi kekerasan (Latif, 2011).
Maka, dapat dipahami bahwa respon masyarakat Sumatera Barat terhadap modernisasi mencerminkan dinamika identitas keagamaan yang komplek. Fundamentalisme, radikalisme, dan ekstrimisme adalah ekspresi dari upaya mempertahankan “Islam Murni”, meski dengan pendekatan yang berbeda-beda. Pendidikan Islam tradisional, kekuatan adat, dan organisasi Islam moderat memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan antara mempertahankan tradisi Islam dan menghadapi modernisasi.
Kelompok-kelompok yang lebih moderat, seperti organisasi Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, lebih memilih pendekatan yang menekankan pada pendidikan Islam yang berbasis pada pemahaman yang toleran dan moderat. Mereka berupaya untuk menjaga agar Islam di Sumatera Barat tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri sebagai umat Islam yang moderat. (*)




















