PADANG, METRO-Keluarnya Surat Keputusan (SK) Bupati Padang Pariaman Nomor 548 Tahun Desember 2024 menetapkan sembilan cagar budaya di daerah tersebut menjadi pertanyaan bagi para ahli. Alasannya ada dua objek yang ditetapkan dinilai tidak tepat menjadi cagar budaya.
Surat yang ditandatangani Mantan Bupati Padang Pariaman Suhatri Bur tersebut salah satunya menetapkan Jembatan Batang Anai sebagai cagar budaya. Sementara kontruksi jembatan tersebut baru saja direhabilitasi pada 2017 lalu. Struktur yang ada sekarang tidak lagi struktur jembatan yang dibangun pada zaman Belanda.
“Ini bisa menyesatkan nanti, struktur yang ada sekarang bukan peninggalan lagi. Tapi sudah struktur baru yang dibangun pada 2017 lalu, artinya baru sekitar enam tahun. Mestinya tidak masuk dalam kategori cagar budaya untuk sebuah struktur,” sebut Ahli Geologi Sumbar, Ade Edwar, Minggu, (25/5).
Meski begitu Ade mengaku hal itu hendaknya menjadi kajian bagi orang budaya. Terutama untuk cagar budaya. Apakah tepat struktur yang baru saja dibangun bisa dikategorikan menjadi cagar budaya.
Kedua, dalam surat tersebut juga ditetapkan bebatuan yang ada di Korong Surantih, Nagari Lubuk Alung, Kabupateb Padang Pariaman sebagai cagar budaya. Penetapan ini juga dinilai tidak tepat, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan tim geologi, tidak ada unsur budaya dari temuan bebatuan tersebut.
“Tidak ada sama sekali perlakukan manusia terhadap bebatuan tersebut, apa dasarnya kemudian tiba-tiba menjadi cagar budaya. Jika ada pola dari permukaan bebatuan itu murni dari hasil bentukan alam, secara alamiah,”ungkapnya.
Menurutnya, alasan menjadikan bebatuan di Korong Surantih tersebut menjadi cagar budaya cukup sumir. Karena tidak berdasarkan kajian secara teori yang valid.
Disebutkannya, jika batu tersebut dijadikan mejan untuk kuburan Syech Burhanuddin, maka mejan tersebut yang dijadikan cagar budaya. Buka sumber batunya yang menjadi cagar budaya. “Yang pasti, tidak ditemukan unsur budaya, atau perlakukan manusia,”ujarnya.
Kemudian, dengan alasan ada bentukan, seperti ukiran atau berbentuk pisau. Menurutnya, bentukan itu alami, karena perbedaan komposisi, karena lapuk. Membentuk keseragaman yang komplek. “Mana ada manusia mengukir seperti itu, kemudian ditanam lagi,” ulasnya.
Juga dikatakan ditemukan berbentuk lesung. Ini juga terbantahkan dengan setelah adanya penelitian ahli geologi. Bentuk lesung itu terbentuk karena gumpalan batu tersebut melapuk dari tengah. Karena bagian tengah cenderung lebih lunak. Sehingg terbentuk cekungan yang kemudian dikatakan lesung.
“Jadi, itu tidak bisa dikatakan memenuhi kaidah, cagar budaya. Tidak memenuhi unsur perbuatan manusia sebagai cagar budaya,” pungkasnya.




















