Sebagian orang berdalih bahwa budaya harus menyesuaikan zaman. Itu betul. Tapi “menyesuaikan” bukan berarti “menghapus”. Budaya adalah sesuatu yang hidup dan berkembang, bukan barang museum yang hanya dipajang. Sayangnya, Indonesia belum memiliki strategi budaya nasional yang konkret di era digital. Minimnya dukungan terhadap pelaku seni lokal dan kurangnya ruang ekspresi budaya tradisional yang relevan membuat budaya luar tumbuh subur.
Namun, belum terlambat untuk bertindak. Justru era digital memberikan peluang emas untuk menjadikan budaya lokal sebagai bintang utama. Kita tidak perlu menolak teknologi-kita hanya perlu menggunakannya dengan cara yang tepat. Bayangkan jika tari Jaipong atau Tari Kipas dikemas dalam bentuk tantangan TikTok yang modern, dengan latar musik yang lebih segar namun tetap mempertahankan nilai budaya. Inilah saatnya kita berhenti jadi peniru tren dan mulai jadi pencipta tren yang berakar pada warisan kita sendiri. Karena budaya milik kita jauh lebih berharga daripada budaya luar yang berdatangan.
Pemerintah memiliki peran vital. Pelatihan konten budaya digital di sekolah, festival tari daerah berbasis media sosial, hingga kolaborasi antara seniman tradisional dan kreator muda adalah langkah awal yang sangat mungkin dilakukan. Komunitas kreatif, influencer, dan pegiat budaya bisa bekerja sama untuk menciptakan konten yang tak hanya menarik, tetapi juga edukatif. Hal-hal ini tentunya dapat memupuk rasa hromat dari generasi muda terhadap budaya lokal. Dengan begitu, generasi muda bisa melihat bahwa mencintai budaya sendiri bukanlah hal kuno, melainkan sesuatu yang keren dan layak dibanggakan.
Lebih dari itu, peran keluarga dan pendidikan sangat penting. Anak-anak perlu dikenalkan pada budaya lokal sejak dini dengan cara yang menyenangkan. Bukan malah diperlihatkan video TikTok sejak mereka masih dini. Jangan biarkan budaya tradisional hanya menjadi mata pelajaran hafalan yang membosankan di sekolah. Budaya harus hadir di rumah, di media, di ruang-ruang publik, dan terutama di dunia digital. Budaya bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita menanamkan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap warisan leluhur di masa kini dan masa depan. Jika kita terus membiarkan budaya asing mendominasi tanpa perlawanan, maka di masa depan, anak cucu kita mungkin hanya akan mengenal budaya Indonesia dari gambar dan cerita di buku sejarah.
Indonesia tidak kekurangan kekayaan budaya-yang kita butuhkan adalah kemauan untuk menjaganya. Jangan sampai karena kelalaian kita, budaya kita justru diambil alih dan diklaim oleh negara lain. Bukankah sudah banyak contoh budaya kita yang hampir hilang atau diklaim karena minimnya dokumentasi dan promosi?
Kini adalah waktu yang tepat bagi generasi muda untuk bangkit. Budaya tidak harus menutup diri dari perkembangan zaman. Justru sebaliknya, ia harus mampu beradaptasi dan hidup di dalamnya. Jadikan budaya lokal sebagai pelaku aktif di panggung digital global. Jadilah generasi pencipta, bukan hanya pengikut. Dan yang terpenting: jadilah generasi yang bangga terhadap budayanya sendiri. (***)















