Sementara itu Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto nenyatakan bahwa adanya 17 kejadian keracunan di 10 provinsi harus diperhatikan. Sebab ini merupakan sebuah keprihatinan dalam program yang dijalankan. “Kita belum optima dalam hal keamanan pangan,” ucapnya.
Dia juga mengkritisi kerjasama BPOM dan BGN belum optimal. Sebab dalam Pasal 47 PP 8/2019 tentang keamanan pangan, pangan olahan siap saji itu menjadi urusan Kemenkes, BPOM, dan bupati/walikota. BPOM menurutnya punya otoritas untuk memeriksa setiap tempat yang diduga digunakan produks, penyupanan, pengangukutan, dan perdagangan pangan. “Artinya BPOM punya kewenangan untuk memberikan penagwasan seluruh SPPG,” tuturnya.
Edy juga mempertanyakan apakah BPOM juga diajak melakukan cek ketika SPPG akan digunakan. Ini untuk melihat apakah standar SPPG ini sesuai. BGN menurutnya tidak punya kompetensi untuk melakukan ini. Berbeda dengan BPOM. “UMKM saja dikontrol ketat (BPOM), kenapa ini (SPPG) yang menyangkut 3000 orang tidak dikontrol?” katanya. Solusi preventif ini menurut Edy lebih masuk akal daripada memberikan asuransi untuk penerima mannfaat MBG.
Anggota Komisi IX DPR lainnya Nurhad, mendesak BGN untuk memberikan sanksi tegas terhadap SPPG yang terbukti melanggar standar keamanan pangan. Jika pelanggaran terus berulang maka tindakan keras mutlak dilakukan. “Saya menilai sudah saatnya diterapkan mekanisme punishment yang tegas terhadap penyedia SPPG yang terbukti melanggar standar keamanan pangan, apalagi jika pelanggaran tersebut berulang. Ini menyangkut keselamatan anak-anak,” ujar Nurhadi.
Menurut Nurhadi, pelanggaran terhadap standar keamanan pangan bukan hanya soal teknis, melainkan menyangkut kepercayaan publik. “Jangan sampai program pemerintah yang niatnya baik justru merugikan anak-anak karena lemahnya pengawasan,” tuturnya. (jpg)

















