Lebih lanjut, Amirsyah mengatakan MUI mengingatkan lembaga penyiaran untuk tidak boleh menyiarkan adegan yang menggambarkan aktivitas pornografi dan pornoaksi yang jelas-jelas merusak ibadah Ramadan. Tayangan Ramadan harus menjauhkan diri dari isi siaran yang memperolok, merendahkan, melecehkan, atau mengabaikan nilai-nilai agama,” katanya. Serta martabat warga Indonesia di tengah hubungan Indonesia dengan negara-negara lain dalam skala regional maupun internasional.
Isi siaran Ramadhan juga diminta agar tidak boleh bermuatan fitnah, hasutan kebencian, disinformasi menyesatkan, hoax dan kabar bohong. Selain itu, tidak menonjolkan unsur kekerasan, baik fisik maupun verbal. “Konten cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Isi siaran Ramadhan tidak digunakan untuk kampanye, publisitas politik, propaganda individu, serta agitasi kelompok politik dalam rivalitas politik praktis,” tegasnya.
Menurut MUI, isi siaran Ramadhan sangat penting diisi dengan penguatan nilai keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, sebagai tempat pendidikan anak-anak bangsa, generasi penerus yang tangguh untuk menopang Indonesia Emas, dengan spirit perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan, sebagai ibu dan madrasah pertama bagi anak.
“Tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan dan tidak memprovokasi timbulnya ujaran kebencian (hate speech),” tuturnya.
Di tengah kuatnya desakan pembatasan akses anak pada media sosial, dan saat tengah disiapkan regulasi pengaturan usia anak dalam mengakses media digital, maka lembaga penyiaran dan para konten kreator media sosial penting memperkuat spiritnya dengan menyajikan konten edukatif dan ramah anak. “Serta tidak merusak mental dan karakter, khususnya bagi anak-anak yang jiwanya masih fase pendampingan,” demikian bunyi Tausiyah. (jpg)
