Angka itu berasal dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp 2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp 9 triliun, kerugian pemberian kompensasi 2023 sekitar Rp 126 triliun, dan kerugian pemberian subsidi 2023 Rp 21 triliun. Pendalaman terus dilakukan untuk memastikan komponen kerugian itu terjadi pada 2028-202 atau tidak.
“Karena, ini adalah awal kami sampaikan, ini adalah perkiraan antara penyidik dengan ahli sementara. Rp 193,7 triliun itu ada beberapa komponen. Sudah disampaikan setidaknya ada lima komponen. Apakah setiap komponen di 2023 itu juga berlangsung di 2018, 2019, 2020, dan seterusnya. Kan juga harus dilakukan pengecekan,” terang dia.
Namun demikian, Harli memastikan bahwa angka kerugian negara dalam kasus itu tidak lebih sedikit dari hasil hitungan awal. Dalam kasus tersebut, Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan turut menjadi tersangka bersama enam tersangka lainnya. Salah satu modus korupsi itu adalah membeli BBM RON 90 dengan harga BBM RON 92 dan mencapur kedua jenis BBM itu di depo. (jpg)
















