“Ketidakmampuan ke dua kota dalam menyediakan pasokan produksi secara mandiri, sedangkan secara siklus, populasi manusia di ke dua kota tersebut dapat meningkat pesat akibat pola-pola musiman periode Hari Besar Keagamaan Nasional kurang dapat diantisipasi dengan manajemen stok pre-emptive,” terangnya.
Sementara itu, Kabupaten Pasaman Barat dan Dharmasraya, meski terdapat peningkatan aktivitas ekonomi akibat kuatnya sektor perkebunan, dapat diantisipasi oleh produksi yang memadai secara mandiri.
Secara umum, inflasi Provinsi Sumbar secara keseluruhan tahun sebesar 0,89 persen (yoy). Ke depan, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Sumbar berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas laju inflasi melalui strategi 4K yaitu ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, keterjangkauan harga, dan komunikasi efektif.
Penguatan sinergi dengan berbagai pihak juga terus dilanjutkan agar implementasi program pengendalian inflasi pangan lebih efektif serta mewujudkan terjaganya inflasi pada rentang 2,5 ± 1 persen (yoy) pada tahun 2025.
Dandy menambahkan, perlu strategi yang berbeda dalam pengendalian inflasi khususnya harga pangan antara Kota Padang dan Bukittinggi, dengan Kabupaten Pasaman Barat dan Dharmasraya. Kota Padang dan Bukittinggi sebagai kota services harus memikirkan penguatan manajemen stok serta kemandirian pangan pada daerah padat penduduk atau kemandirian pangan pada daerah perkampungan. Sementara itu, sebagai awalan Kabupaten Pasaman Barat dan Dharmasraya perlu memperkuat neraca pangan.
“Pendapatan yang meningkat pada sektor perkebunan di ke dua wilayah akan mengakibatkan kenaikan daya beli dan konsumsi. Terdapatnya produksi tanaman bahan makanan dan hortikultura di ke dua kabupaten tersebut harus terus ditingkatkan produktivitasnya serta secara paralel melakukan penguatan kemandirian stok,” tutupnya. (rgr)



















