“Seharusnya, desentralisasi dan demokrasi lokal (pilkada) sebenarnya menjadi kekuatan untuk memperkuat pembangunan daerah. Namun, tantangan seperti politik uang, tingginya biaya politik, dan konflik sosial perlu ditangani dengan langkah-langkah strategis,” tuturnya.
Oleh karena itu, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi Bawaslu RI itu berharap, Indonesia dapat belajar dari sistem kepemiluan yang ada dan telah diterapkan di Jepang.
Pasalnya, dia mendapati informasi dari Ketua Umum PPIJ, Prima Gandhi, tentang perbedaan Pilkada di Indonesia dan Jepang, yang menurutnya sistem pilkada di sana dikenal dengan sistem prefektur, dan dinilai lebih efisien.
Sebabnya, diurai Gandhi, periodesasi kampanye pilkada di Jepang hanya berlangsung dua minggu, dan terbukti menjadi salah satu faktor yang membuat sistem ini lebih terkontrol dan hemat biaya.
“Di Jepang, transparansi dana kampanye jauh lebih baik. Setiap pengeluaran harus dilaporkan secara rinci. Ini berbeda dengan di Indonesia, di mana sering kali dana yang dilaporkan tidak berimbang dengan pengeluaran aktual di lapangan,” demikian Gandhi menegaskan. (jpg)
