Dikatakan Alfrimen, contoh saja Istano Pagaruyung yang berada di Batusangkar terbakar hebat juga, namun pembangunan nya juga cepat. Ini GPK yang sudah hadir bersama kita sejak saya lahir di Sawahlunto sudah ada GPK dan tetap megah tak lekang waktu, apalagi sudah menjadi cagar budaya dari UNESCO.
“Kenapa pembangunannya terlunta-lunta tidak ada kejelasan.Kami warga Sawahlunto tidak mau tahu dengan alasan dan persoalan dari para pemimpin dan pejabat terkait,” ungkapnya. “Yang jelas GPK yang megah menjadi jorok, tua dan kusam ditambah dengan dikelilingi seng. Sudah 2 tahun bukan waktu yang sebentar persoalan pembangunannya tidak juga selesai,” kata dia.
Hampir sama dengan Alfrimen warga Sawahlunto yang juga tokoh masyarakat Abdulah Jaelani mengungkapkan kekecewaannya, kalau pihak tersebut tidak punya kemampuan dan kapasitas membangun serahkan saja kepada masyarakat Sawahlunto.
“Kita sudah geram entah apa alasannya hnlingga GPK tidak juga di Renovasi, apalagi alasannya masyarakat Sawahlunto sudah cukup lama menunggu ikon kesayangan mereka menjadi kotor dan jorok karena bekas-bekas sisa pembakaran yang hangus. Kapan lagi akan dibangun GPK ini,” ucap Abdulah Jaelani.
Ditambah lagi dengan pedagang kaki lima yang berjualan hingga ke pinggir jalan di sekitar GPK, menambah kesan kumuhnya. Pariwisata apa yang mau dikembangkan, kota tua dan bangunan bersejarahnya kelihatan tidak sedap dipandang.
“Kami meminta tolong siapapun pihak terkait yang ada dibelakang pembangunan GPK ini atau yang bertanggung jawab untuk segera membangun kembali Gedung yang bersejarah ini. Gedung kebanggaan Kota Sawahlunto,” tegas dia. Gedung Pusat Kebudayaan (GPK) terletak di Jl. Ahmad Yani No. 4, Kelurahan Pasar, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Indonesia. (pin)




















