Meijaard menceritakan pengalamannya yang penuh tantangan ketika dia dan empat rekannya seperti Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kühl, dan Serge Wich yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia, tiba-tiba dilarang melanjutkan penelitian mereka di Indonesia setelah mereka menulis sebuah artikel opini yang mengkritik klaim pemerintah terkait populasi orangutan di Indonesia. Artikel tersebut, yang diterbitkan di The Jakarta Post, mempertanyakan klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyatakan bahwa populasi orangutan di Indonesia sedang berkembang, sementara menurut hasil penelitian yang sudah lebih dari 30 tahun dilakukan oleh Meijaard, justru menunjukkan penurunan jumlah orangutan di Indonesia. Tindakan pemerintah yang melarang mereka melanjutkan penelitian tersebut semakin memperburuk kesan adanya kebijakan antisains yang hanya berfokus pada kepentingan politik dan pencitraan pemerintah, bukan pada fakta ilmiah yang dihasilkan oleh penelitian yang independen.
Kemudian, ada surat dari KLHK yang bocor ke media yang menginstruksikan kepada taman-taman nasional untuk tidak memberikan izin penelitian kepada Meijaard dan rekan-rekannya, menambah ketegangan dalam hubungan antara ilmuwan dan pemerintah. Menurut surat tersebut, alasan yang diberikan adalah bahwa tulisan-tulisan para ilmuwan itu dianggap telah mendiskreditkan pemerintah, meskipun tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa penelitian mereka melanggar hukum. Para ilmuwan yang sebelumnya bekerja sama dengan Meijaard juga dilaporkan tidak diberikan izin untuk melanjutkan penelitian mereka.
Lalu, Abdil Mughis Mudhoffir, Koordinator KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademi) memberi tanggapan, menyebut bahwa tindakan KLHK ini adalah sebuah pelanggaran terhadap kebebasan akademik yang seharusnya memberi ruang bagi data dan fakta ilmiah untuk disampaikan kepada publik tanpa adanya tekanan atau campur tangan politik. Namun, kebijakan seperti ini nyatanya bukanlah hal baru di Indonesia. Salah satu contoh yang masih segar adalah deportasi ilmuwan lingkungan David Gaveau pada tahun 2020 yang dipaksa keluar dari Indonesia setelah mempublikasikan temuan yang menunjukkan tingkat kebakaran hutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh pemerintah. Meski Indonesia saat ini berada dalam masa demokrasi, praktik seperti ini ternyata masih terus berlangsung dan berdampak pada kebebasan ilmiah di negara ini.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun situasi di sektor konservasi darat semakin penuh tantangan, sektor kelautan terutama yang berkaitan dengan upaya konservasi satwa laut nyatanya menunjukkan kisah yang sedikit berbeda. Misalnya, dalam organisasi Konservasi Indonesia (KI) yang telah menjalin banyak kerja sama dengan peneliti internasional, pemerintah Indonesia cenderung lebih terbuka dan mendukung kolaborasi ini. KI sendiri telah lama menjalankan proyek penelitian yang melibatkan mitra internasional, seperti penelitian populasi pari manta di kawasan Raja Ampat yang tidak hanya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, tetapi juga hasil penelitian yang dipublikasikan bersama dengan pemerintah seringkali dijadikan rujukan dalam kebijakan pengelolaan kawasan konservasi perairan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada ketegangan dalam beberapa sektor, masih ada ruang bagi kolaborasi yang sehat antara ilmuwan asing dan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.
Dengan segala tantangan yang ada, Indonesia masih memiliki peran yang sangat penting dalam upaya konservasi dunia berkat keberagaman hayati yang dimilikinya. Namun, jika kebijakan pemerintah terus menghambat penelitian ilmiah dan kerja sama internasional, maka Indonesia berisiko kehilangan kesempatan besar untuk mengatasi masalah konservasi yang semakin mendesak, dan dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga oleh dunia.












