JATI, METRO – Masalah gizi buruk merupakan masalah yang sering dibicarakan di Sumbar. Pasalnya, menurut data terakhir dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumbar yang dikeluarkan pada 2018 dengan tiga kategori pengklasifikasian yakni berdasarkan berat badan/umur, tinggi badan/umur, dan berat badan/tinggi badan mencapai 137.626 orang.
Rincian data dari Dinkes Sumbar tersebut ialah, selama 2018 terdapat 6.793 bayi usia di bawah dua tahun (baduta) bergizi buruk, dan 15.942 orang baduta bertubuh pendek (stunting). Bahkan 6.685 bayi berbadan sangat kurus.
Kondisi yang memprihatinkan juga terjadi pada balita (bawah lima tahun). Sebanyak 28. 898 orang kurang gizi dan 59. 641 orang stunting. Kemudian terdapat 19. 667 orang balita berbadan sangat kurus.
Jika ditotalkan antara baduta dan balita, terdapat 35.691 bayi kurang gizi, 75.583 bayi stunting dan 26.352 bayi berbadan sangat kurus di Sumbar, dengan total 137.626 orang. “Itu data status gizi Baduta dan Balita berdasarkan penimbangan massal tahun 2018. Satu bayi diukur panjang, tinggi dan berat badannya,” kata Kepala Dinkes Sumbar, Merry Yuliesday, Kamis (14/3).
Merry menyebutkan, ada beberapa langkah yang dilakukan agar persoalan tersebut bisa diatasi mulai dari perencanaan untuk jangka pendek dan panjang. Mulai dari regulasi, pembentukan tim, keterlibatan berbagai stakeholder dalam pencegahan serta bantuan dana dari pusat hingga daerah.
“Hari ini saya ke Pasaman dan Pasbar untuk membicarakan masalah ini,” ujar Merry.
Selain dana terang Merry, program juga harus terukur dan tidak kalah penting edukasi harus diberikan kepada masyarakat terutama ibu hamil. Edukasi bisa melalui pemantauan status gizi melalui penimbangan massal setiap Februari, Agustus dan September disertai dengan pemberian vitamin A dan obat cacing.
Setelah itu dilanjutkan melalui penguatan pelatihan Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA), konselor ASI, pelatihan proses asuhan gizi, penguatan Usaha Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) melalui pembentukan Pos Gizi.
“Kita juga dapat bantuan Kementerian Kesehatan sebesar Rp650 juta untuk Pasaman berupa kegiatan pendidikan gizi dalam pemberian makanan tambahan lokal bagi ibu hamil dan balita. Kemudian ada bantuan pusat (DAK) sebesar Rp750 juta dan dana dari provinsi. Kami serius menyesuaikan masalah ini,” terang Merry.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit mengatakan, kasus stunting atau anak bertubuh pendek semakin meluas di Sumbar. Saat ini jumlah daerah dengan kasus stunting bertambah satu daerah. Tahun 2018 lalu, daerah dengan angka stunting yang tinggi, masing-masing Pasaman dan Pasaman Barat. Sementara tahun ini bertambah satu daerah, yakni Kota Solok.
“Ini pekerjaan berat. Dinas Kesehatan, BKKBN, serta Kepala Daerah harus fokus menuntaskan masalah ini. Apalagi ada anggaran dari daerah dan pusat. Pergunakan untuk melengkapi gizi ibu hamil dan balita. Membangun jamban yang layak supaya kasus diare tidak menyerang anak-anak. Sebab itu juga memicu stunting,” ungkap Nasrul.
Sementara itu, Kepala BKKBN Sumbar, Syahruddin mengungkapkan, beragam penyebab stunting. Mulai dari pernikahan usia dini, ibu hamil dan balita kurang asupan gizi, sampai kondisi lingkungan yang tidak sehat. Penuntasan kasus stunting di daerah butuh waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan penanganan berkelanjutan.
“Sedangkan hasilnya pun tidak bisa dilihat dalam waktu satu dua tahun, melainkan 5 hingga 10 tahun ke depan,” kata Syahruddin. (mil)