JAKARTA, METRO–Dampak judi online (judol) tidak hanya terkait materi. Banyak juga kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dipicu oleh judol. Korbannya rata-rata perempuan dan anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat ada enam aduan yang masuk terkait judol. “Semuanya anak dan perempuan yang jadi korban KDRT. Ada juga kasus kekerasan pada anak, penelantaran anak, eksploitasi seksual, dan adiksi yang disebabkan oleh praktik judi online,” terang Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar, Jumat (21/6).
Jumlah sesungguhnya diprediksi jauh di atas angka yang dicatat Kemen PPPA. Sebab, tidak banyak kasus KDRT yang dilaporkan. Para korban rata-rata tak ingin melapor karena malu atau takut.
Melihat dampak mengerikan judol, Nahar mendukung upaya pencegahan. Caranya adalah dengan merumuskan kebijakan perlindungan anak di ranah daring, sosialisasi bahaya judi online, hingga mendukung adanya sanksi yang diterapkan. “Kami membuka kanal pengaduan kasus perempuan dan anak yang terdampak judi online melalui layanan pengaduan SAPA-129,’’ ucapnya.
Untuk mereka yang sudah jadi korban, Kemen PPPA juga menyediakan akses rehabilitasi. Terutama bagi anak yang berhadapan dengan hukum karena judi online. “Ini dilakukan karena terkait anak yang memerlukan perlindungan khusus, baik yang melakukan, menjadi korban, dan menjadi saksi,’’ terangnya.
Satgas Optimistis
Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online optimistis terhadap langkah strategis yang mereka lakukan. Ketua satgas yang juga Menko Polhukam Hadi Tjahjanto yakin, tren judi online segera turun. “Saya yakin minggu ini dan minggu depan tren judi online akan turun,” kata Hadi. Karena itu, dia meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kembali membuat laporan pasca satgas bekerja.
Kepada seluruh jajaran di Satgas Pemberantasan Judi Online, Hadi meminta mereka fokus dan bekerja optimal. Khususnya untuk menyelamatkan 80 persen pemain judi online yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. “Mereka yang mainnya Rp 10 ribu sampai Rp 100 ribu. Bayangkan, tukang cat pulang tidak bawa uang hanya karena ingin melipatgandakan pendapatannya, namun habis karena judi online,” terang dia. Belum lagi masyarakat yang main judi online dengan uang dari pinjaman online. Hal itu juga menjadi perhatian satgas.
Berkaitan dengan aparat TNI-Polri yang ikut main judi online, Hadi memastikan sudah memonitor. “Pimpinan TNI dan Polri sudah mengetahui data-datanya, siapa saja (prajurit TNI dan personel Polri) yang main judi online,” tegas Hadi. Selain tidak dilibatkan dalam kerja-kerja satgas, mereka telah dibina dan diberi sanksi. Secara khusus, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menyatakan bahwa instansinya tidak akan ragu memberikan sanksi kepada prajurit TNI yang kedapatan main judi online.
Pada bagian lain, anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta meminta satgas berfokus pada akar masalah. Bukan sekadar menyentuh masalah permukaan. Menurut dia, sejauh ini satgas terlihat menggunakan strategi memerangi demand and supply.
“Pendekatan tersebut tentu tidak salah, tapi aparat juga harus menyisir dari akarnya, yakni si bandar, jaringan, dan kroninya,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Jawa Pos kemarin. Wayan menyebut, judi online tentu memiliki basis luar jaringan (luring). Jaringan itu diyakini melibatkan banyak pihak. “Termasuk pihak yang berasal dari Indonesia sendiri,’’ imbuhnya.
Dia berharap satgas tidak sekadar gestur politik. Satgas yang dibentuk lewat Keppres Nomor 21/2924 itu harus benar-benar membantu meniadakan persoalan judi secara komprehensif. “Dan memberi manfaat yang terbaik bagi masyarakat,” tutur legislator dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut. (jpg)
